Para Imam Ahlus Sunnah Tidak Asal Mengkafirkan Ketika Masih Ada Udzur Kebodohan

Pemahaman bahwa; AL-QURAN ADALAH MAKHLUK, merupakan KEKUFURAN BERDASARKAN IJMA’ PARA ULAMA.

Namun, dahulu Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’iy –rahimahumullah- TIDAK MENGKAFIRKAN INDIVIDU orang yang berpemahaman tersebut KETIKA ORANG ITU MEMILIKI UDZUR KEBODOHAN.

Dan bahkan ketika yang berpemahaman kufur tersebut adalah Penguasa atau da’i yang menyeru dan memaksakan kekufurannya itu kepada orang lain, maka sebagaian ulama tetap tidak mengkafirkan individu mereka. Seperti yang dialami oleh Imam Ahmad bin Hambal ketika dizhalimi, disiksa, dan dipenjara dalam rangka dipaksa untuk mengatakan kekufuran tersebut oleh Khalifah dan ulama-ulama sesat di zamannya. Akan tetapi, Imam Ahmad tidak mengkafirkan mereka karena sebab udzur kebodohan!

 

Mereka itulah para Imam Ahlus Sunnah wal jama’ah yang disifatkan bahwasannya “mereka (Ahlus Sunnah) itu paling tahu kebenaran dan paling penyayang terhadap makhluk.” (kitab: Minhaj Assunnah Annabawiyyah, 5/158).

Hal tersebut ternyata dijelaskan dan dikisahkan oleh Syaikhul Islam IbnuTaimiyah.

Syaikhul Islam IbnuTaimiyah –rahimahullah– berkata:

{…vonis kafir terhadap kelompok Jahmiyah telah masyhur di kalangan ulama Salaf dan para Imam .Tetapi, ia (Imam Ahmad bin Hanbal pent.) tidak mengafirkan individu mereka.

Sesungguhnya orang yg menyeru itu lebih parah daripada orang yang hanya mengatakannya, dan orang yang mengkafirkan orang lain yang menyelisihi itu lebih parah dari pada yang hanya menghukum saja.

Bersamaan dengan itu, dahulu sebagian para penguasa ada yang  berpendapat dengan perkataan Jahmiyah tersebut, yaitu: bahwa Alquran adalah makhluk, dan bahwa Allah tidak terlihat di akhirat, dan yang lainnya! Bahkan mereka menyeru manusia kepada pemahaman tersebut, menguji manusia padanya, menghukum manusia, dan mengkafirkan orang yang menolak seruan mereka! Bahkan apabila mereka memenjarakan tahanan maka tidak akan membebaskannya sampai ia menyetujui pendapat Jahmiah  bahwa; Al Quran adalah makhluk, dan yang lainnya!

Mereka pun tidak menempatkan orang-orang yang bertanggung jawab, mereka tidak memberikan jatah rizki dari Baitul Mal kecuali kepada orang yang menyetujui pendapat mereka itu.

Bersamaan dengan itu, Imam Ahmad -rahimahullah- Tetap Berbelaskasih Kepada Mereka Dan Memintakan Ampun Kepada Allah Bagi Mereka; Karena Beliau Mengetahui Bahwa Belum Jelas Bagi Mereka Bahwa (Perbuatan) Mereka Itu Sebenarnya Termasuk Mendustakan Rasul, Dan Belum Jelas Bagi Mereka Bahwa (Perbuatan) Mereka Itu Sebenarnya Termasuk Penolakan Terhadap Apa Yang Dibawa Rasul!! Akan tetapi, mereka itu menta’wil  lalu mereka keliru dan mereka pun taklid kepada orang yang mengatakan hal tersebut pada mereka.

Begitu pula Imam Syafi’iy ketika berkata: “kau telah kufur kepada Allah yang Maha Agung!” kepada Hafsh Al fard saat mengatakan: “Al quran adalah makhluk”. Ini dalam rangka beliau (imam Syafi’iy) menjelaskan bahwa perkataan Hafsh itu Kekufuran, dan bukan berarti beliau menghukumi murtad kepada Hafsh hanya karena berkata seperti itu; hal itu disebabkan belum jelas hujjah untuk mengkafirnya, seandainya Imam Syafi’iy meyakini kemurtadan Hafsh tentu beliau akan mengusahakan membunuhnya. Sungguh beliau pun dengan terang berpendapat diterimanya persaksian Ahli Ahwa’ (bid’ah) dan shalat di belakangnya.

Begitu juga Malik –rahimahullah-, Syafi’iy, dan Ahmad; mereka berkata tentang seseorang yang berpemahaman Qadariyah: “Bila orang itu menyangkal Ilmu Allah maka dia kafir!” Dan dalam lafazh yg lain sebagian mereka berkata: “Ajak debatlah kelompok Qadariyah mengenai Ilmu Allah, bila mereka menetapkannya maka mereka itu dimusuhi, dan bila mereka menyangkalnya maka mereka telah kufur!”

Imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang berpemahaman Qadariyah; apakah orang itu kufur? Lalu beliau menjawab: “Apabila menyangkal ilmu Allah maka dia kafir.” Dan saat itulah; orang yang menyangkal ilmu Allah adalah termasuk jenis kelompok Jahmiyah.

Adapun membunuh da’i yang menyeru kepada bid’ah maka dia itu dibunuh dalam rangka menghilangkan bahayanya dari manusia sebagaimana dibunuhnya orang yang menyerang, walaupun orang itu bukan orang kafir, dan tidak semua orang yang diperintahkan untuk dibunuh itu dibunuh karena sebab murtad.

Begitu juga yang terjadi terhadap Ghailan Al Qadariy dan yang lainnya; mungkin dia dibunuh pun karena sebab ini. Permasalahan-permasalahan ini telah diperluas pembasannya di tempat lain, kami skarang hanya mengingatkan kembali}. –selesai nukilan-

(Majmu’ Al Fataawaa libni Taimiyah, majma’ Malik Fahd, 23/348-350).

Diterjemahkan oleh: Mochammad Hilman Al Fiqhy

=====

Berikut ini teks berbahasa Arab perkataan Ibnu Taimiyah -rahimimahullah- tersebut:

…….وتكفير الجهمية مشهور عن السلف والأئمة .

لكن ما كان يكفر أعيانهم، فإن الذي يدعو إلى القول أعظم من الذي يقول به، والذي يعاقب مخالفه أعظم من الذي يدعو فقط، والذي يكفر مخالفه أعظم من الذي يعاقبه . ومع هذا، فالذين كانوا من ولاة الأمور يقولون بقول الجهمية : أن القرآن مخلوق، وأن الله لا يري في الآخرة، وغير ذلك . ويدعون الناس إلى ذلك، ويمتحنونهم، ويعاقبونهم، إذا لم يجيبوهم، ويكفرون من لم يجبهم . حتى أنهم كانوا إذا أمسكوا الأسير، لم يطلقوه حتى يقر بقول الجهمية : إن القرآن مخلوق، وغير ذلك .

ولا يولون متولياً ولا يعطون رزقاً من بيت المال إلا لمن يقول ذلك . ومع هذا، فالإمام أحمد رحمه الله تعالي ترحم عليهم، واستغفر لهم، لعلمه بأنهم لم يبن لهم أنهم مكذبون للرسول، ولا جاحدون لما جاء به، ولكن تأولوا فأخطأوا، وقلدوا من قال لهم ذلك .

وكذلك الشافعي لما قال لحفص الفرد حين قال : القرآن مخلوق كفرت باللَّه العظيم، بين له أن هذا القول كفر، ولم يحكم بردة حفص بمجرد ذلك؛ لأنه لم يتبين له الحجة التي يكفر بها، ولو اعتقد أنه مرتد، لسعي في قتله، وقد صرح في كتبه بقبول شهادة أهل الأهواء والصلاة خلفهم .

وكذلك قال مالك رحمه الله والشافعي، وأحمد، في القدري : إن جحد علم الله كفر . ولفظ بعضهم : ناظروا القدرية بالعلم، فإن أقروا به خُصِمُوا، وإن جحدوه كفروا . وسئل أحمد عن القدري : هل يكفر ؟ فقال : إن جحد العلم، كفر . وحينئذ، فجاحد العلم هو من جنس الجهمية . وأما قتل الداعية إلى البدع فقد يقتل لكف ضرره عن الناس، كما يقتل المحارب . وإن لم يكن في نفس الأمر كافراً، فليس كل من أمر بقتله يكون قتله لردته . وعلي هذا قتل غَيلان القدري وغيره قد يكون على هذا الوجه . وهذه المسائل مبسوطة في غير هذا الموضع وإنما نبهنا عليها تنبيهاً. (مجموع فتاوى ابن تيمية)

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: