Setiap kali memasuki akhir bulan Ramadhan, pertanyaan di atas kerap kali muncul. Apakah boleh membayarkan zakat kepada orang tua atau saudara? Maka jawaban atas pertanyaan itu perlu perincian.
Berikut kami terjemahkan dari kitab al-mausu’ah al-fiqhiyyah al-muyassaroh (III/128-131) dengan sedikit penjelasan tambahan.
[1] BOLEH MEMBAYAR ZAKAT KEPADA ORANG YANG BUKAN MENJADI TANGGUNGAN NAFKAHNYA.
Dari Zainab –radhiyallah anha- istri Abdulah –radhiyallah anhu- ia berkata: “aku berada di dalam masjid, kemudian aku melihat Nabi ﷺ berkata: “bersedekahlah wahai para wanita walaupun dengan perhiasan kalian!” dan zainab –radhiyallah anha- memberikan sedekah kepada Abdullah dan anak yatim yang berada dalam perlindungannya. Maka (Zainab) berkata kepada Abdullah: “tanyakan kepada Rasulullah ﷺ apakah cukup bagiku memberikan nafkah kepadamu dan kepada anak yatim yang berada dalam tanggunganku? Maka Abdullah berkata: “kamu saja bertanya kepada Rasulullah ﷺ maka aku pergi menemui Nabi ﷺ, kemudian aku mendapati seorang wanita dari Anshor di depan pintu, keperluannya sama dengan keperluanku. Kemudian lewatlah Bilal dan kami berkata: “ tanyakan kepada Nabi ﷺ apakah cukup bagi kami memberikan nafkah kepada suami dan anak yatim yang ada pada kami? Jangan katakan kalau kami berdua yang bertanya.
Maka masuklah Bilal dan bertanya kepadanya. Kemudian Nabi bersabda: “Siapa mereka berdua yang bertanya?” Bilal berkata: “ Zainab.” Nabi bersabda: “Zainab yang mana?” Bilal berkata: “Istrinya Abdullah” Nabi berkata: “iya, dan baginya memiliki dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala sedekah” (Bukhori no. 1466, Muslim no. 1000)
Dan dalam hadis Salman bin ‘Amir –radhiyallah anhu- dari Nabi ﷺ ia bersabda:
الصدقة على المسكين صدقة، وعلى ذي الرحم صدقة وصلة
“Sedekah kepada orang miskin adalah sedekah dan sedekah kepada kerabat memiliki dua pahala: pahala sedekah dan silaturahmi” (Dikeluarkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Tirmidzi; Shohih tirmidzi no. 531, dihasankan oleh Syaih al-Albani dalam irwa’ 883)
[Berdasarkan hadis di atas, apabila seseorang memiliki hubungan kekerabatan akan tetapi tidak memiliki kewajiban dalam menafkahinya seperti seorang istri kepada suaminya atau seorang wanita menafkahi anak yatimnya, maka diperbolehkan.]
[2] TERMASUK KELUARGA YANG TIDAK WAJIB DINAFKAHI ADALAH ANAK YANG SUDAH MENIKAH DAN HIDUP DI RUMAH SENDIRI TERPISAH DARI ORANG TUANYA, MASING-MASING MENANGGUNG NAFKAHNYA SENDIRI.
[3] APABILA KELUARGA ADALAH ORANG YANG DIBERIKAN ZAKAT KARENA KEBUTUHAN KAUM MUSLIMIN KEPADA MEREKA: MAKA DIBOLEHKAN.
[4] ZAKAT KEPADA PEMBANTU ATAU PEKERJA.
Telah datang penjelasannya dalam majmu’ fatawa Syaikhul islam (XXV/90), dan ditanya Syaikh –rahimahullah- tentang memberikan zakat kepada kedua orang tua dan anak yang tidak wajib baginya menafkahi mereka, apakah boleh atau tidak?
Maka Syaikh menjawab:
“Orang yang mengambil zakat, ada dua golongan; [pertama] golongan yang mengambil karena kebutuhan mereka seperti orang fakir dan orang yang terlilit hutang untuk kemaslahatan mereka.
Dan [kedua], golongan yang mengambilnya karena kebutuhan kaum muslimin terhadap mereka, seperti: Mujahid dan orang yang menanggung biaya untuk mendamaikan perselisihan, maka mereka [golongan kedua ini] BOLEH DIBERIKAN ZAKAT WALAUPUN MEREKA ADALAH KERABATNYA.
Adapun memberikan zakat kepada kedua orang tua apabila mereka terlilit hutang atau mereka adalah mukatab [budak yang harus menebus diri mereka agar merdeka], maka dalam masalah ini ada dua pendapat. Yang nampak kuat pendapatnya adalah DIBOLEHKAN yang demikian.
Dan adapun apabila mereka adalah orang-orang fakir dan dia TIDAK MAMPU UNTUK MENAFKAHINYA, maka yang kuat [dari pendapat yang ada] adalah boleh membayarnya kepada mereka dalam hal ini.” Selesai.
Telah datang penjelasan [Syaikh] dalam ikhtiyarot fiqhiyyah hlm. (104):
“Dan dibolehkan membayar zakat kepada kedua orang tua, demikian pula orang di atas mereka [kakek, nenek, buyut dst.] dan kepada anak, demikian pula orang yang di bawahnya [cucu, cicit, dst.] apabila mereka miskin dan [si pemberi zakat] tidak mampu menafkahi mereka; karena adanya sebuah tuntutan [hukum] yang selamat dari penentang [hukum tersebut]. Dan ini adalah salah satu pendapat dari dua pendapat dalam mazhab imam Ahmad.
Demikian juga apabila mereka [orang tua ataupun anak] adalah orang yang terlilit hutang, atau mukatab [budak yang menebus diri kepada tuannya untuk merdeka] atau Ibnu sabil, ini pun salah satu pendapat dari dua pendapat dalam mazhab imam Ahmad. [maksudnya dibolehkan membayar zakat pada mereka].
Dan apabila seorang ibu miskin, dan ia memiliki anak kecil yang mereka [anak tersebut] memiliki harta sendiri, dan [apabila mereka] menafkahi ibunya akan memudhorotkan mereka: maka si ibu diberi dari zakat mereka.
Dan orang yang membantunya apabila tidak cukup upahnya [untuk memenuhi kebutuhannya]: maka dia diberikan zakatnya; apabila ia tidak menjadikan upahnya sebagai ganti zakatnya, dan siapa saja yang berada dalam tanggungannya sedangkan dia adalah orang yang tidak wajib dia nafkahi: maka dia boleh memberikan zakat kepada mereka apa yang mereka butuhkan di mana tidakberjalan adat dan kebiasaan bahwa dia [harus] menafkahinya dari hartanya.”
Selesai.
Dan berkata imam Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya (IV/109): “BAB SEDEKAH SESEORANG KEPADA ANAKNYA…”
Kemudian membawakan riwayat dengan sanadnya; hadis ‘Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya: Sesungguhnya seorang lelaki bersedekah kepada anaknya sebidang tanah, kemudian tanah tersebut kembali lagi padanya dikarenakan warisan, diceritakan demikian kepada Rasulullah ﷺ maka bersabdalah kepada mereka:
وجب أجرك ورجع إليك ملكك
“Telah tetap pahala bagimu dan kembali kepadamu harta milikmu”
Lihat shohih Ibnu khuzaimah (2465)
[5] TIDAK BERKUMPUL ANTARA NAFKAH DAN ZAKAT. KERABAT YANG KAYA WAJIB MENAFKAHI KERABAT YANG MISKIN, BUKAN MEMBAYAR ZAKAT KEPADA MEREKA.
– Saya [syaikh Husain bin ‘Audah al-Awayisyah] bertanya kepada Syaikh kami [Syaikh al-Albani] –rahimahullah- tentang zakat kepada kerabat.
Maka ia menjawab: “Tidak berkumpul antara zakat dan nafkah”
– Dan bertanya sebagian yang lain: “Apakah sah zakat seorang anak perempuan yang kaya kepada kedua orang tuannya?”
Maka ia –rahimahullah- menjawab: “Tidak, tapi wajib baginya menafkahi [kedua orang tuanya]
– Sebagian bertanya: “Apakah wajib bagi orang tua menafkahi anaknya yang miskin yang sudah berkeluarga?”
Syaikh al-Albani menjawab: “Iya”
Dan Syaikh menjawab seorang penanya pada tempat yang lain: “Kami berpendapat bolehnya anak keturunan memberikan zakat kepada orang tua mereka dan sebaliknya apabila mereka tidak hidup bersama [satu atap], dan tidak saling menafkahi satu sama lainnya.
Apabila orang tua bersama sebagian anaknya tinggal terpisah dan salah satu anaknya tinggal terpisah dan dia kaya: maka boleh baginya memberikan zakat mal dan zakat fitri kepada orang tua dan saudaranya.
Adapun apabila ia bertanggung jawab menafkahi mereka [orang tua dan saudaranya] maka di sini kita katakan nafkah dan zakat tidak boleh berkumpul, tidak boleh membayarkan zakat kepada orang yang dinafkahi.
Adapun apabila ayah dan anak-anaknya tinggal terpisah tertutup satu sama lain -sebagaimana dikatakan orang-: maka boleh bagi anak yang kaya ini memberikan zakat mal kepada ayah dan saudaranya yang fakir.”
Selesai dari penukilan kitab (mausu’ah al-fiqhiyyah al-muyassaroh, syaikh Husain bin ‘Audah al-Awayisyah)
Semoga bermanfat.
Disusun oleh Ustadz Dika Wahyudi, Lc.
Catatan: yang berada dalam […] tambahan dari penterjemah, dan poin-point dalam pembahaan juga tambahan penterjemah