Jika Harus Memilih Antara Pemuda yang Dianggap Ulama dengan Ulama yang Benar-benar Senior

Memang benar, orang yang memiliki ilmu Syar’i, walaupun masih muda, maka wajib diikuti selama ia sesuai dengan ilmunya. Dengan sebab ilmunya itu ia dihormati dan diteladani.

Demikian juga, Seorang muslim yang sudah sepuh walau tidak berilmu, ia pun wajib dihormati, dalam hal yang berkaitan dengan adab. Adab ini merupakan syariat yang sangat tegas, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

ليس منا من لم يرحم صغيرنا، ويوقّر كبيرنا !

“Bukan termasuk dari golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak menghormati orang yang tua di antara kami!” (HR. At Tirmidzi no.1921.)

Adapun muslim yang sudah sepuh, serta yang menghabiskan umurnya itu dengan mengasah ilmu syar’i, berusaha mengamalkan dan mendakwahkannya, serta dia pun bukan orang yang baru tobat di masa tuanya; maka tentulah ia termasuk yang disebutkan dalam sebuah atsar dari Ibnu Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-:

 «لا يزال الناس بخيرٍ ما أخذوا العلم عن أكابرهم وأمنائهم وعلمائهم»

“Manusia senantiasa berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang sepuh dari mereka, yang terpercaya di antara mereka, serta yang merupakan ahli ilmu mereka.”

Ketika mengutip atsar Ibnu Mas’ud tersebut, Ibnu Qutaibah –rahimahullah– menjelaskan:

لأنَّ الشيخ قد زالت عنه متعة الشباب وحدته وعجلته وسفهه، واستصحب التجربة والخبرة، ولا يدخل عليه في علمه الشبهة، ولا يغلب عليه الهوى، ولا يميل به الطمع، ولا يستزله الشيطان استزلال الحدث، فمع السن والوقار والجلالة والهيبة، والحدث قد تدخل عليه هذه الأمور التي أمنت على الشيخ، فإذا دخلت عليه وأفتى هلك وأهلك.

(نصيحة أهل الحديث) للخطيب البغدادي:(30-1/28).

“Hal itu karena seorang yang sudah sepuh telah hilang darinya kesenangan masa muda, hilang perangai keras kepalanya, hilang sifat ketergesa-gesaannya, dan sirna kecerobohannya. Orang sepuh itu telah merasakan berbagai percobaan hidup dan pengalaman sehingga tidak ada kesamaran yang masuk ke dalam ilmu pengetahuannya, ia tidak didominasi hawa nafsu, ia tidak condong pada ketamakkan, serta setan tidak akan menggelincirkannya dengan ketergelinciran yang biasa terjadi pada pemuda!

Orang yang sepuh itu senantiasa bersama dengan senioritas umur, ketenangan, kehormatan, dan kewibawaan. Sedangkan orang yang masih muda, terkadang dimasuki oleh sifat-sifat berbahaya tersebut yang mana orang sepuh sudah aman darinya. Dan jika pemuda itu telah dimasuki sifat-sifat tersebut lalu ia berfatwa maka ia pasti celaka serta mencelakakan orang lain!”

(Nukilan ini pun dicantumkan di website resmi Syaikh Abdur Razzaq Al Badr -hafizhahullah-: https://www.al-badr.net/muqolat/5063 )

Bagi orang awam yang tidak mampu memilah-milah dalil saat terjadi perbedaan pendapat, maka wajib mencari ahli ilmu yang paling wara‘, yakni yang paling hati-hati dalam berfatwa dan yang paling dikenal berpengalaman dalam menyelami ilmu Syar’i dan mempraktikannya. Karena orang awam jika tidak mendapatkan bimbingan ahli ilmu maka malah berbahaya jika ia langsung mengutak-atik dalil.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah– berpesan:

“Sedangkan orang awam dan penuntut ilmu syar’i yang masih pemula, maka ia harus benar-benar berusaha untuk taklid (mengikuti) terhadap orang yang ia pandang lebih dekat kepada kebenaran ditinjau dari segi: keluasan ilmunya, komitmennya pada agama, dan sifat wara’nya.” (Kitaabul ‘Ilmi, 153)

Ditulis Oleh: Mochammad Hilman Al Fiqhy

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: