Catatan Atas Penutupan Masjid di Masa Pandemi Covid-19

Ustadz Mahfuzh Umri -Hafizhahullah- menulis:

Terkait tanggapan saudara Arifin Badri -‘aafaniyallah wa iyyahu- tentang penutupan masjid.

Pandangan Ulama Tentang Penutupan Masjid

[1]. Imam Nawawi (631-676 H) -rahimahullah- berkata: “Tidak mengapa menutup masjid untuk selain waktu sholat untuk menjaga dan memelihara fasilitas masjid, itulah pendapat mereka (syafiiyyah), hal ini jika dikhawatirkan fasilitas tersebut terbengkalai dan hilang sementara tidak ada keperluan untuk membuka masjid. Adapun jika tidak dikhawatirkan ada kerusakan dan pelecehan terhadap kehormatan masjid maka dibiarkan masjid terbuka merupakan suatu sikap kelembutan bagi manusia. Adapun yg sesuai SUNNAH, masjid dibiarkan terbuka sebagaimana masjid Rasulullah -Shallallaahu alaihi wasallam- tidak pernah ditutup baik pada zaman beliau atau setelahnya.” (al Majmu syarhulmuhadzdzab, juz 2 hal: 123).

Dari penjelasan Imam Nawawi -rahimahullah- tersebut, kesimpulan yg bisa diambil adalah:

1). Masjid ditutup di luar waktu sholat

2). Tujuannya menjaga fasilitas masjid

3). Jika tidak khawatir adanya penyalahgunaan maka sebaiknya terbuka

4). Masjid Nabi -shallaahu alaihi wasalam tidak pernah ditutup baik pada masa beliau atau setelahnya! Artinya; benar apa yg dikatakan ustadz Yazid -hafizhahullah- sesuai dengan penjelasan Imam Nawawi.

Lantas bagaimana saudara Arifin bicara seperti ini:
“Kalau anda masih sensi, percayalah biangnya ada di pikiran Anda sendiri, selama ini di pikiran Anda hanya ada satu orang, sehingga apapun pasti Anda tafsirkan dengan dia, padahal di dunia ini banyak yang seperti Anda, apalagi seperti dia!”
Padahal, Jika saudara Arifin memperhatikan ucapan ustadz Yazid -hafizhahullah-.
Perhatikan ucapan ustadz Yazid -Hafizhahullah-:
“Berkaitan tentang masalah Masjid, tidak boleh ditutup! Tidak ada dari zaman Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- sampai para imam mujtahidin masjid ditutup. Mestinya yang bijaksana masjid tetap dibuka, yang sudah pasti sakit kena Corona tidak boleh sholat ke Masjid, bagi yang takut nular jangan ke Masjid!”

Dari perkataan beliau tersebut kita bisa punya ide yang baik, yaitu: menggalang donatur utk mengadakan RAPID Test swadaya (insya Allah masih banyak orang yg mampu) sehingga menjadi bagian dari upaya dalam membantu pemerintah, yaitu: dari hasil RAPID test tersebut bahwa perumahan atau suatu daerah yang bebas Corona bisa tetap shalat di masjid sebagai upaya penting mengambil sebab syar’i dengan cara melaksanakan shalat untuk mendekatkan diri kepada Allah agar lepas dari wabah.

Nabi -shalallahu alaihi wa sallam- bersabda:

هل تنصرون إلا بضعفائكم بإخلاصهم ودعائهم وصلاتهم

“Bukankah kalian ditolong (oleh Allah) melainkan karena para dhua’afa (orang-orang lemah) kalian, yakni: dengan sebab keikhlasan mereka, doa mereka, dan sholat mereka !?”

Untuk urusan Corona (Covid-19), bukankah baik bermusyawarah dengan orang tua bagaimana sikap kita sebagai contoh hadits Ibn Abbas -radhiallahu’anhu- riwayat Bukhori dan Muslim, bahwa Umar ibn al Khattab -radhiallahu’anhu- bermusyawarah dengan kaum Muhajirin kemudian dengan para sahabat Anshar, ternyata yang Muwaffaq (diberi ketepatan) adalah musyawarah dengan Masyayikh-nya (para orang tua) para sahabat sesuai hadits Nabi yang disampaikan oleh Abdurrahman bin Auf.

Jangan lupa saudara Arifin! Anda punya kontribusi besar mengarahkan umat pada pemilu lalu! Waktu anda berpihak pada no. berapa dari paslon… Siapapun yang Anda dukung dan mengarahkan umat… sekarang apa yg terjadi …??!! Dan Anda seakan tidak menganggap orang tua yang lebih dulu dalam segalanya…! Sekarang bagaimana pandangan saudara Arifin terkait kenyataan bergabung tsb…?! Apakah sekarang ini terulang lagi… atau akan terulang lagi….?! Dengan beda masalah…?! Bukankah adab mufti itu musyawarah!? cukuplah contoh Umar bin Khattab -radhiallahu ‘anhu- dan kebetulan kasusnya sama, yaitu wabah, yaitu Tha’un dan Corona.

[2]. Ibn Hajar al Asqalani (773-852 H) -rahimahullah- berkata:
“Dalam hadits tersebut (yaitu HR.Bukhori no.1598) mengandung beberapa faidah…: disyariatkannya pemasangan pintu-pintu masjid dan penutupan pintu.” (Fathul Bari juz 4 hal: 525 cet.Dar at Thayyibah)

Dari keterangan Ibn Hajar al Asqalani -rahimahullah- beliau beristinbath tentang syariat pemasangan pintu dan penutupannya, yang diambil dari hadits Ibn Umar tentang penutupan pintu Ka’bah. Namun, yang menjadi perhatian penting siapa yg menutup pintu Ka’bah?
Disebutkan oleh Ibn Hajar -rahimahullah- yang membuka dan menutup adalah Utsman bin Talhah dan Bilal bin Rabah -radhiallahu’anhuma- ketika Nabi -shallallaahu alaihi wasallam- masuk Ka’bah dan sholat lalu ditutup (Fathul Bari juz: 4 hal:523).

Yang menarik untuk dikaji, ternyata Ibn Hajar -rahimahullah- menyebutkan hadits Ibn Umar -radhiallahu’anhu- riwayat Muslim, yaitu:

[عن عبدالله بن عمر:] أَقْبَلَ رَسولُ اللهِ ﷺ عامَ الفَتْحِ على ناقَةٍ لِأُسامَةَ بنِ زَيْدٍ، حتّى أَناخَ بفِناءِ الكَعْبَةِ، ثُمَّ دَعا عُثْمانَ بنَ طَلْحَةَ، فَقالَ: ائْتِنِي بالمِفْتاحِ، فَذَهَبَ إلى أُمِّهِ، فأبَتْ أَنْ تُعْطِيَهُ، فَقالَ: واللَّهِ، لَتُعْطِينِهِ، أَوْ لَيَخْرُجَنَّ هذا السَّيْفُ مِن صُلْبِي، قالَ: فأعْطَتْهُ إيّاهُ، فَجاءَ به إلى النبيِّ ﷺ فَدَفَعَهُ إلَيْهِ، فَفَتَحَ البابَ…، ثُمَّ ذَكَرَ بمِثْلِ حَديثِ حَمّادِ بنِ زَيْدٍ.
مسلم (٢٦١ هـ)، صحيح مسلم ١٣٢٩

Artinya: Pada tahun pembebasan kota Makah, Rasulullaah -shallallaahu alaihi wasallam- menaiki onta milik Usamah bin Zaid kemudian turun di pelataran Ka’bah lalu memanggil Utsman bin Talhah, dan berkata: “Berikan padaku kunci Ka’bah!” Lalu Utsman bin Talhah mendatangi ibunya (minta kunci Ka’bah) ibunya menolak untuk memberikannya, kemudian Utsman bin Talhah berkata: “Demi Allah berikan kunci itu padaku atau pedang ini akan keluar dari sarungnya!”
Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhu- berkata: “Kemudian ibunya memberikan kunci tersebut kepada Utsman dan dibawa kepada Nabi -shallallaahu alaihi wasallam- dan diberikan pada beliau, lalu Nabi -shalallahu alaihi wasallam- membuka pintu Ka’bah.” (HR.Muslim)

Yang perlu dikaji: kenapa ibunya menolak memberi kunci dan Utsman mengancamnya dg pedang?! padahal dia itu ibunya!

[3]. Al Marghinani ( 511-593 H) -rahimahullah- termasuk kibar fuqoha’ Hanafiyyah berkata:
“Tidak disukai pintu masjid ditutup karena hal itu menyerupai pelarangan sholat, dikatakan (ada pendapat) boleh (ditutup) pada waktu-waktu di luar sholat apabila dikhawatirkan fasilitas masjid(terbengkalai).” (al Binayah fi Syarhil Hidayah juz:2 hal:562)

Dari keterangan di atas menunjukkan boleh ditutup ketika di luar waktu sholat dan beliau mengatakan makruh karena serupa dengan larangan orang untuk sholat.

[7]. Al Kamal ibn al Humam ( wafat th.861H) -rahimahullah- termasuk ulama Hanafiyyah, berkata:
“Menutup pintu masjid hukumnya Haram karena menyerupai larangan orang untuk sholat dan Allah Ta’ala berfirman:

:وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ أَن یُذۡكَرَ فِیهَا ٱسۡمُهُۥ وَسَعَىٰ فِی خَرَابِهَاۤۚ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ مَا كَانَ لَهُمۡ أَن یَدۡخُلُوهَاۤ إِلَّا خَاۤىِٕفِینَۚ لَهُمۡ فِی ٱلدُّنۡیَا خِزۡیࣱ وَلَهُمۡ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ عَذَابٌ عَظِیمࣱ﴾ [البقرة ١١٤]

‘Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat.’ (QS. Al Baqarah: 114).”
(Syarh Fathul Qadir ‘alal Hidayah Syarhu Bidayah al Mubtadi juz:1 hal:434)

[5]. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin -rahimahullah- berkata:
“Tidaklah kemudian dikatakan bahwa penutupan tersebut, berarti melarang masjid-masjid Allah dijadikan sebagai tempat berdzikir menyebut nama-Nya, karena penutupan tersebut terkadang untuk tujuan maslahat, suatu keperluan, ataupun karena hal DARURAT!”
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, dalam Ta’liq terhadap Shahih Bukhari, Juz 5, hal 420).

Perkataan Syaikh Utsaimin -rahimahullah- dibawa kepada pengertian bolehnya masjid ditutup di luar waktu sholat karena hukum asal masjid adalah terbuka, dan fungsi utamanya untuk sholat jumat dan sholat wajib lima waktu, sebagaimana hadits:

، فإنَّ أفْضَلَ صَلاةِ المَرْءِ في بَيْتِهِ إلّا الصَّلاةَ المَكْتُوبَةَ.
البخاري (٢٥٦ هـ)، صحيح البخاري ٧٢٩٠

Artinya: “Seutama-utama sholat seseorang adalah di rumahnya, kecuali sholat wajib.”
(HR. Bukhori no. 7290).

*

Jika kita memperhatikan pandangan para Ulama tersebut terkait penutupan masjid, bisa diambil beberapa kesimpulan:

1). Pembuatan pintu masjid dan penutupannya berdasarkan adanya pintu Ka’bah dan juga penutupannya sebagaimana hadits riwayat Bukhori, no.1958.

2). Masjid Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- selau terbuka tidak pernah tertutup baik pada zaman beliau atau setelahnya sebagaimana penjelasan Imam An Nawawi -rahimahullah-.

3). Hukum asal masjid adalah terbuka (untuk pelaksanaan shalat).

4). Ulama berbeda pendapat tentang penutupan masjid.

5). Pendapat pertama: hukumnya boleh masjid ditutup dalam rangka menjaga fasilitas masjid dengan catatan; waktu penutupan di luar waktu pelaksanaan shalat.

6). Pendapat kedua: hukumnya Makruh, dengan alasan karena sama dengan melarang orang shalat.

7). Pendapat ketiga: hukumnya Haram, dengan alasan sama dengan menghalangi orang yang hendak shalat.

#Kesimpulan_akhir:

Hukum asal masjid adalah terbuka dan fungai utamanya adalah untuk shalat Jum’at dan shalat Jama’ah. Boleh ditutup untuk suatu maslahat dan itu pun di luar waktu shalat. Jika ditutup untuk waktu sholat sehingga orang dilarang masuk masjid dengan alasan DARURAT, maka definisi darurat harus jelas karena situasi dan kondisi masing masing-masing tempat dan daerah berbeda-beda, tidak bisa disamaratakan.

Untuk masalah Corona: Covid-19, bisa dipakai acuan peta pemerintah untuk kemudian dalam membantu pemerintah, masyarakat bisa melakukan tindakan-tindakan berupa:

1. Swadaya RAPID test.

2. Membantu yang kekurangan akibat terbatasnya akses ekonomi.

3. Terhindar dari saling curiga siapa yang terpapar Corona (Covid-19).

4. Bagi yang terbukti sehat, tetap bisa shalat di masjid karena sudah jelas tidak terpapar sebagai upaya penting mengambil sebab syar’i untuk mengangkat wabah secara keseluruhan.

5. Mengantisipasi bahkan meringankan dan mengobati saudara kita yang tertekan mentalnya yang berakibat fatal timbulmya penyakit lain dari Corona (Covid-19) sehingga menurunkan imun mereka karena tidak terjaganya iman mereka.

——————-

Ditulis oleh: Mahfudz Umri.
Bekasi, tanggal 4 Syaban 1441H. / 28 Maret 2020 M.

 

Penulis menitipkan tulisan ini di-share melalui akun facebook Mochammad Hilman Alfiqhy
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=250260532777712&id=100033813006487

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: