Apakah Tidak Mengikuti Pendapat Suatu Mazhab yang Tidak Sesuai Sunnah itu Tercela?

Apakah tidak mengikuti Imam/Ulama besar karena tidak sesuai Sunnah itu dianggap sebagai mencela Ulama tersebut karena menganggapnya telah berdosa?

Apakah mengikuti Sunnah yang menyelishi pendapat Mazhab dianggap “sok tahu” karena tidak mengikuti ulama sama sekali?

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullah- telah membahas permasalah tersebut dalam maqaddimah kitabnya: Shifatu Shalaat An-Nabiy, berikut ini terjemahannya:

Di antara kerancuan (syubhat) yang banyak tersebar sehingga menghalangi manusia dari mengikuti Sunnah adalah: pernyantaan bahwa jika seseorang mengikuti Sunnah Nabi yang menyelisihi mazhab berarti ia telah mengangap bahwa para Imam mazhab itu salah, dan menyalahkan mereka berarti mencela mereka!?

Tentu pernyataan tersebut merupakan anggapan yang batil! Dan itu disebabkan oleh penyimpangan dari pemahaman yang benar terhadap Sunnah. Jika tidak demikian, maka mana mungkin seorang muslim yang berakal mengatakan hal tersebut. Kerana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

 إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ واحِدٌ

“Apabila seorang hakim telah berijtihad dalam menetapkan suatu hukum lalu ia benar, maka baginya dua pahala; sedangkan apabila ia berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadits ini menyanggah anggapan rancu (syubhat) tersebut, hadits ini pun menjelaskan dengan sangat jelas bahwa tatkala ada yang mengatakan ‘(ijtihad )ulama fulan itu keliru!’ maka berdasarkan Syariat; maknanya adalah ‘ulama fulan itu diberi satu pahala!’ Sehingga, apabila ulama fulan yang keliru itu dianggap mendapatkan pahala menurut orang yang memandang ijtihadnya keliru; lantas bagaimana mungkin orang yang menganggapnya keliru itu disebut sebagai pencela ulama!?

Tidak diragukan lagi, itu merupakan pamahaman rancu yang batil; maka orang yang memiliki kerancuan pemahaman seperti itu hendaklah segera meninggalkan kerancuannya itu; Jika tidak, maka justru sebenarnya ia telah mencela ulama kaum muslimin, bahkan bukan sekedar ulama biasa, tetapi mencela para imam besar mereka dari kalangan para Sahabat Nabi dan para Tabi’in serta para imam mujtahid setelah mereka; karena kami mengetahui secara yakin bahwa para Imam tersebut dahulu saling menganggap salah dan saling berbantah antara sesama mereka, lantas apakah seorang yang berakal akan menganggap hal tersebut sebagai sikap saling mencela antara satu dengan yang lainnya!? Padahal sebaliknya, telah shahih suatu riwayat bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menganggap salah terhadap takwil (tafsiran) Abu Bakar -radhiallahu ‘anhu- yang telah manafsirkan mimpi seseorang; maka beliau bersabda kepada Abu Bakar:

أصبتَ بعضًا وأَخطأْتَ بعضًا

“Kau benar pada sebagian tafsirmu itu dan salah pada sebagian lainnya!” (HR. Bukhari & Muslim)

Lantas, Apakah dengan perkataan tersebut, beliau saat itu sedang mencela Abu Bakar?!

Di antara pengaruh yang mengherankan dari orang-orang yang memiliki cara berfikir yang rancu tersebut adalah menghalangi mereka dari mengikuti Sunnah dengan dalih bahwa Sunnah tersebut menyelisihi pendapat Mazhab mereka; karena menurut mereka, jika mereka mengikuti Sunnah tersebut maka itu berarti mereka mencela Imam mazhab mereka. Sedangkan jika mereka mengikuti pendapat Mazhab -walaupun menyelisihi Sunnah- maka itu berarti memuliakan dan suatu pengagungan terhadap Imam mazhab! Oleh karenanya, mereka terus-menerus taqlid kepada pendapat mazhab tersebut dengan anggapan agar tidak terjerumus pada pencelaan terhadap Imam Mazhab; yang padahal sebenarnya itu merupakan anggapan yang batil.

Sungguh mereka itu lupa -dan Saya tidak mengatakan mereka itu pura-pura lupa!- bahwasannya mereka justru terjerumus pada celaan yang lebih buruk daripada apa yang sedang berusaha mereka hindari! Karena apabila dikatakan bahwa mengikuti seseorang itu dianggap sebagai suatu penghormatan terhadap yang diikuti, sedangkan menyelisihinya dianggap sebagai suatu celaan; Maka, bagaimana mungkin kalian membolehkan diri kalian untuk menyelisihi Sunnah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan meninggalkannya, demi mengikuti Imam mazhab dalam hal yang bertentangan dengan Sunnah, sedangkan Imam tersebut bukanlah seorang yang Maksum (tidak mungkin salah) dan menyelisihinya pun bukan termasuk kekufuran! Seandainya menurut kalian menyelisihi Imam itu dianggap sebagai celaan padanya, maka seharusnya menyelisihi Rasul pun tentu jelas-jelas harus dianggap sebagai celaan terhadap Rasul, bahkan itu termasuk kekufuran yang sebenarnya! -Wa iyaadzu biLlah minhu-

Bila penyataan ini disampaikan kepada mereka, tentu mereka tidak dapat menyanggahnya, kecuali dengan suatu kalimat yang memang telah lama sering kami dengar dari mereka, yaitu: “Kami meninggalkan Sunnah tersebut karena kami merasa tsiqah (percaya) terhadap Imam mazhab yang mana tentau ia lebih memahami Sunnah daripada kami!”

Ada beberapa aspek jawaban kami terhadap kalimat penyataan (rancu) tersebut yang jika dipaparkan di muqaddimah ini maka akan terlalu panjang. Karenanya, kami mencukupkan dengan satu aspek jawaban saja -yang dengan izin Allah- akan menjadi jawaban pemisah (antara kebenaan dan kebatilan), yaitu:

Bahwasannya orang yang paling ‘alim (memahami) terhadap Sunnah bukan hanya Imam Mazhab kalian saja; namun sebenarnya ada juga puluhan bahkan ratusan Imam-imam lain yang lebih mengetahui tentang Sunnah daripada Imam kalian itu. Sehingga, apabila telah datang Sunnah yang shahih yang menyelisihi mazhab kalian, maka sesungguhnya telah ada salah seorang dari imam-imam lainnya yang telah mengikuti Sunnah tersebut; karenanya dalam keadaan demikian, maka mengikuti Sunnah tersebut bagi kalian pun merupakan suatu kewajiban yang telah pasti! Adapun pernyataan rancu kalian itu tidak tepat jika kalian gunakan pada keadaan ini, karena apabila kalian menyelisihi Sunnah maka kalian sebenarnya termakan pernyataan rancu kalian itu sendiri, yakni bahwasannya kami pun sebenarnya mengikuti sunnah tersebut karena kami pun merasa tsiqah (percaya) terhadap Imam lain yang telah mengamalkan Sunnah tersebut; dan mengikuti Imam lain yang sesuai dengan Sunnah itu lebih utama daripada mengikuti Imam yang menyelisihi Sunnah! Ini merupakan perkara yang jelas, yang tidak samar bagi seorangpun juga, insya Allah. -selesai nukilan- (Shifatu Shalaat An-Nabiy, cet. 3. Hlm. 63-64)

***

Demikianlah nukilan jawaban dari Syaikh Al-Albani -rahimahullah-, maka kesimpulan pentingnya adalah bahwa seseorang yang telah mendapatkan Sunnah Rosul wajib mengikutinya, dan apabila ada Ulama yang menyelisihi suatu Sunnah maka sebenarnya Sunnah tersebut telah diamalkan oleh sebagian Ulama lainnya, dan Ulama yang menyelishi Sunnah tersebut tentu bukan dalam rangka menyengaja ingin menyelisihi Sunnah, tentu tidak mungkin demikian! Tetapi itu karena barangkali Sunnah tersebut belum sampai kepadanya, atau telah ia ketahui tetapi ia menganggapnya lemah, atau udzur yang lainnya yang telah dimaklumi di kalangan para ulama; karena itulah mereka tetap mendapatkan satu pahala walaupun menyelisihi Sunnah karena ijtihadnya yang keliru tanpa sengaja. Wallahu a’lam.

===

Ditulis Oleh Mochammad Hilman Al Fiqhy

Bandung – Ahad, 6 Muharram 1443 H. / 2021 M.

 

Silakan baca juga: Sesama Ulama Ahlus Sunnah Saling Mencintai Walaupun Terjadi Perbedaan Pendapat

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: