Apakah Kesuksesan Dakwah Harus dengan Mendekati Penguasa?

Assalamu’alaikum ustadz, semoga ustadz senantiasa dalam perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ma’dziroh ustadz, pertanyaannya terkait pembahasan Sittu duror min ahlil atsar. Ustadz ana ingin bertanya mengenai manhaj ahlussunah dalam berdakwah.

ana pernah mendengar ceramah seorang ‘Ustadz Ahlussunah‘ via YouTube, beliau mengatakan kurang lebih seperti ini  ” Kita contoh dakwahnya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah, yang beliau mendakwahkan tauhid dengan bantuan kekuataan Ulil Amri kala itu (Muhammad bin Su’ud), yg dengannya dakwah tauhid sukses di negri tersebut sampai lahirlah negara Islam ( Saudi Arabia). Berbeda dengan dakwahnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang jauh dari penguasa kala itu, karena  penguasa kala itu dihasut oleh ahlulbidah yg tidak senang dgn dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sehingga beliau Rahimahullah sering keluar masuk penjara dan keberhasilannya tidak sesukses Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab.

yang ingin ana tanyakan,

Apakah statement itu benar ? Dan apakah dibenarkan jika kita sengaja mendekati penguasa dengan harapan dakwah kita akan sesukses dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab ?

Karena khawatir perkataan tersebut dijadikan hujjah oleh para penggiat Harakah yg mencoba mencari kursi parlemen agar bisa menegakkan syariat Islam.

Syukron Ustadz, Jazakallahu khoiron

Dari: Rizki, Umur: 21 tahun, Kegiatan: mengajar tahfizh

Pertanyaan Grup WA: Kajian Online Bandung (ihkwan)

===============

Jawaban:

Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakaatuh

Alhamdulillah.

Akhi fillah,

Ketahuilah bahwa penyebab kemuliaan dan kejayaan umat adalah dengan kembali kepada Islam, sedangkan Islam tidak bisa diamalkan melainkan harus disertai dengan Ilmu.[1] Oleh karena itu, meraih kejayaan adalah dengan melalui ilmu syar’i karena dengan sebab ilmu syar’i itu maka kita dapat kembali mengamalkan Islam dengan benar dan tidak sesat sehingga Allah mengangkat kehinaan yang menimpa kita dan menggantinya dengan kemuliaan.

Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Artinya: “Apabila kalian berjualbeli dengan cara Al-‘iinah, kalian mengambil ekor-ekor sapi, kalian rela dengan pertanian, dan kalian pun meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian  kehinaan yang mana Dia tidak akan mengangkat kehinaan itu SAMPAI KALIAN KEMBALI KEPADA AGAMA KALIAN!” (HR. Abu Daud no. 3462, dan Dishahihkan Al-Albaniy dalam Ash-Shahihah no. 11).

Kaidah tersebut mencakup dalam hal dakwah juga. Kemuliaan dan kemenangan dakwah kita adalah berdakwah dengan melalui ilmu yang benar, yaitu berlandaskan pada Al Quran dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf. Demikian juga para panguasa, apabila hendak mendapatkan kemuliaan dan kejayaan kekuasaannya maka hendaklah mereka kembali kepada Islam. Sebaliknya, tatkala para penguasa itu jauh dari Islam maka kekuasaannya itu malah menjadi sebab kehinaannya dan kebinasaannya. [2]

Maka, sungguh keliru tatkala ada yang mengklaim bahwa kemenangan dakwah harus dengan melalui mendekati penguasa!?

Mari kita kembali kepada sejarah para Nabi tatkala mereka berdakwah kepada penguasa, renungkanlah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihis salam, memang mereka diperintahkan berdakwah kepada penguasa, tapi itu dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, bukan untuk mendekati penguasa agar diberi ‘kedudukan’! Justru mereka berdua mengajak fir’aun untuk beribadah kepada Allah dan melarangnya dari berbuat syirik, sebagaimana mereka pun mendakwahkan hal tersebut kepada orang lain selain penguasa. Tetapi Fir’aun menolak, maka kerajaan Fir’aun pun binasa. Firaun tidak mau mengikuti dakwah para Nabi yang mulia, maka Firaun pun terhina.

Ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdakwah di Mekah, ada salah seorang pembesar mekah yang melindungi dakwah beliau, yakni pamannya; yang bernama Abu Thalib, selama pamannya itu hidup, beliau dapat berdakwah dengan tanpa gangguan fisik karena orang-orang kafir Mekah sungkan terhadap pamannya yang melindunginya. Akan tetapi, selama dakwah di Mekah, beliau belum berhasil meraih kejayaan, padahal beliau dilindungi dan didukung salah seorang penguasa Madinah, namun beliau terpaksa harus hijrah ke Madinah karena sepeninggal pamannya, keamanan beliau semakin terancam bahkan hampir terbunuh. Setelah beliau dakwah di Madinah, maka di sanalah beliau memperoleh kejayaan dan kemenangan dakwah. Di Madinah, Mus’ab bin Umair –radhiallahu ‘anhu- telah lebih dahulu ditugaskan untuk berdakwah Tauhid ke Madinah, mendakwahi masyarakatnya, demikian juga Rasulullah tatkala hijarh ke Madinah, beliau bedakwah ke masyarakat terlebih dahulu, adapun para pembesar Madinah yang masih Kafir, kebanyakan mereka masuk Islamnya belakangan. Maka kemenangan dakwah beliau bukan karena mendekati penguasa. Tetapi penguasa yang mendakati beliaulah yang akan diberi keberkahan dalam kekuasaannya.

Demikian juga para Ulama, seperti Syaikhul islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-, berdakwah dengan metode dakwahnya para Nabi, beliau berdakwah kepada masyarakat, dan juga kepada para penguasa, bukan mendekati penguasa untuk mendapat ‘pengakuan penguasa’. Qadarullah, penguasa di masa itu tidak mau mengikuti dakwah Tauhid Ibnu taimiyah, sehingga Allah hinakan para penguasa tersebut dan kekuasaannya mereka pun sirna, sedangkan Ibnu Taimiyah, kemuliaan jasanya serta manfaat ilmunya masih tetap hidup dan mulia sampai sekarang dan seterusnya, insya Allah.

Di masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau gencar mendakwahkan Tauhid, seperti para Da’i Tauhid lainnya, beliau pun banyak yang menentang, bahkan sebagian penguasa di Nejed pun ada yang mengancam beliau, dengan sebab dakwah Tauhid beliau yang bertentangan dengan kepentingan para penguasa saat itu.  Akan tetapi, Allah takdirkan ada sealah seorang penguasa kabilah di Nejed, yakni Muhammad bin Su’ud, yang menyadari kebenaran dakwah Syaikh melalui istrinya yang shalihah. Bahkan istrinya-lah yang memotivasi Ibnu Su’ud untuk menerima Syaikh serta ikut berjuang membantu dakwah tauhid bersamanya. Maka dengan sebab itulah, kabilah yang dipimpimpin oleh Muhammad bin Su’ud mendapatkan keberkahan, kemuliaan, kejayaan, dan pertolongan  dari Allah sehingga menjadi Kerajaan Saudi yang kita kenal sekarang. Maka dari sini kita dapat fahami bahwa pada saat itu penguasa-lah yang mendekati ulama, bukan ulama yang mendekati penguasa.

Oleh karena itu, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ دُنُوًّا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْدًا

“Tidaklah seseorang semakin dekat kepada penguasa kecuali akan semakin jauh dari Allah”[3]

Demikian juga banyak dari kalangan Salaf yang melarang masuk mendatangi para penguasa,[4] di antara mereka adalah Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Mubarak, Sufyan Ats-Tsauri dan lain-lain. Akan tetapi, sebenarnya larangan tersebut tidak mutlak,[5] sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al Mudzhir, ia berkata:

ومن دخل على السلطان وداهنه وقع في الفتنة وأما من لم يداهن ونصحه وأمره بالمعروف ونهاه عن المنكر فكان دخوله عليه أفضل الجهاد

“Siapa yang mendatangi penguasa dan ber-mudahanah (menjilat) maka ia pasti jatuh kepada fitnah. Adapun jika ia tidak bermudahanah, ia memberi nasehat dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar maka kedatangannya termasuk jihad yang paling utama”[6]

Wallaahu a’lam

Dijawab oleh: Ustadz Mochammad Hilman Alfiqhy

==============

[1]  Penjelasan lebih lanjut di: https://sabiluna.net/559/jihad-dengan-ilmu-syari-sebelum-dengan-pedang/

[2]  Penjelasan lebih lanjut di:  https://sabiluna.net/550/kemuliaan-kejayaan-bagi-yang-kembali-mengamalkan-islam/

[3] HR. Ahmad, Abu Daud no. 4860. Syeikh Muhammad As-Subhi Hasan Hallaq berkata: “Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil (1/312) Al-Qudhai dalam Musnad as-Syihab (1/222 no. 339) dan Syaikh Al-Albani memuatnya dalam as-Shahihah no. 1272

[4]  Penjelasan lebih lanjut di: https://almanhaj.or.id/10681-bahaya-ambisi-terhadap-harta-dan-kehormatan-2.html#_ftnref6

[5]  Penjelasan lebih lanjut di: https://muslim.or.id/28140-penjelasan-hadits-siapa-yang-mendatangi-penguasa-ia-akan-terfitnah.html

[6]  Tuhfatul Ahwadzi, 6/533.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: