Pendidikan anak-anak di masa generasi Salaf memang menekankan mengajarkan Adab, sebagaimana yang dinukil dari Ibnul Mubarok –rahimahullah- berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين وكانوا يطلبون الأدب قبل العلم
“Kami telah mempelajari adab selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun. Mereka (kaum Salaf) mempelajari adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu. ” (Ibnul Jazari, Ghayatun Nihaayah, 1/446)
Mempelajari adab sebelum ilmu bukan berarti meninggalkan mempelajari ilmu yang lain demi memfokuskan pada adab. Akan tetapi, yang dimaksud adalah penekanan mempelajari adab tatkala mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Hal tersebut tergambarkan pada riwayat berikut ini:
Dikatakan kepada Anas bin Malik –radhiallahu ‘anhu-: Bagaimanakah keadaan para Mu’addib (pengajar) dahulu pada masa khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali –radhiallahu ‘anhum-? Maka Anas berkata:
كان المؤدب له أجانة، وكل صبي يأتي كل يوم بنوبته ماء طاهراً، فيصبونه فيها، فيمحون به ألواحهم. قال أنس: ثم يحفرون حفرة في الأرض، فيصبون ذلك الماء فيها فينشف. قلت: أفترى أن يلعط؟ قال: لا بأس به، ولا يمسح بالرجل، ويمسح بالمنديل وما أشبهه. قلت: فما ترى فيما يكتب الصبيان في الكتاب من المسائل؟ قال: أما ما كان من ذكر الله فلا يمحوه برجله، ولا بأس أن يمحو غير ذلك مما ليس في القرآن”.
“Dahulu seorang Mu’addib (pengajar) memiliki suatu wadah (untuk diisi air), dan setiap anak didik akan datang tiap hari sesuai gilirannya dengan membawa air bersih lalu menuangkannya ke wadah tersebut. Anak-anak tersebut akan menggunakan air itu untuk menghapus papan-papan tulis kecil milik mereka.” Anas berkata: “kemudian mereka akan menggali tanah lalu membuang air tersebut ke dalam galian tersebut sehingga mengering.” Penanya bertanya lagi; “Bagaimana menurutmu bila tintanya belepotan ke tangan?” Anas menjawab: “Tidak apa-apa, tetapi jangan menghapusnya dengan kaki, hapuslah dengan saputangan atau yang sebagainya!” Lalu Anas bin Malik ditanya lagi: “Bagaimana menurutmu mengenai apa-apa yang ditulis oleh anak-anak didik di Kuttab yang berupa permasalahan ilmiah?” Maka Anas berkata: “Adapun jika ada yang berupa penyebutan lafazh Allah maka jangan dihapus dengan kaki, tetapi tidak apa-apa jika untuk menghapus hal-hal lainnya yang selain Al Quran.” –selesai nukilan- (Ibnu Sahnun, Aadaabul Mu’allim, 40-41).
Pada riwayat tersebut menunjukan adanya penekanan pendidikan adab kepada anak-anak didik terhadap tulisan ayat-ayat Al Quran tatkala mereka belajar ilmu di Kuttab. Pada saat itulah, pendidikan adab dan ilmu terjadi bersamaan.
Metode seperti itu pun begitu tersebar pada generasi Salafush Shalih, sebagaimana yang terjadi pada kisah salah seorang tabi’ut Taabi’in, yaitu Imam Malik –rahimahullahu-, ia berkisah:
قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه.
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk mencatat ilmu.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah! Pakailah pakaian (untuk menuntut) ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk mencatat ilmu itu!’ Ibuku juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum kau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207)
Akan tetapi, terdapat banyak riwayat bahwa pada masa para Sahabat Nabi pun pendidikan anak-anak biasa diselenggarakan di Kuttab, diantaranya riwayat berikut ini:
غياث ابن أبي شبيب قَالَ: كان سفيان بن وهب صاحب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يمر بنا ونحن غلمة بالقيروان فيسلم علينا، ونحن في الكتاب، وعليه عمامة قد أرخاها من خلفه
Giyats bin Abi Syabiib berkata: “Dahulu Sufyan bin Wahb , salah seorang sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, melewati kami yang pada saat itu kami masih anak-anak di kota Qairawan. Lalu beliau mengucapkan salam kepada kami yang sedang (belajar) di Kuttab, dan beliau memakai Imamah yang dijuntaikan ke arah belakangnya.” (Al Isti’aab fii Ma’rifatil Ashhaab, 2/631)
Oleh karena itu, dahulu Saya (penulis) bertanya kepada Syaikh Ali bin Hasan AL Halabi –hafizhahullah– mengenai maksud dari metode pendidikan ulama Salaf bahwasannya dahulu mereka menyatakan: “Kami mempelajari Adab 30 tahun lalu setelah itu mempelajari ilmu…” Bagaimanakah gambarannya? padahal pada faktanya ada pelajaran hafalan Quran pada setiap kurikulum pendidikan anak-anak sejak zaman Salaf?
Maka Syaikh Ali –hafizhahullah– menjelaskan:
Bahwa adab itu tentu ada kaitannya dengan ilmu. Perkataan ulama Salaf yang menyatakan bahwa mereka mempelajari Adab dahulu kemudian mempelajari ilmu, maknanya adalah seperti ucapan: ‘kami mempelajari cabang-cabang ilmu secara umum kemudian kami belajar takhashshush (fokus/konsentrasi) pada ilmu tertentu.’
Jadi, maksud para ulama Salaf bahwa dahulu mereka mempelajari adab sebelum ilmu adalah seorang guru mengajarkan masalah adab dan akhlak dalam tatacara ibadah kepada Allah, tatacara membuka kitab hadits-hadits, dsb, dengan melalui metode pendidikan (baca: uslub tarbawi). Yakni sama sebagaimana kita mengenal ada tahapan pendidikan mata pelajaran pada jenjang SMA, kemudian menjadi lebih spesifik lagi pelajarannya di jenjang Kuliahan, kemudian di Magister, Doktoral. dst.
-selesai-
Baca juga: Metode Pengajaran Al-Quran oleh Dua Sahabat Nabi yang Mulia: Abu Darda dan Anas bin Malik
============
Ditulis oleh: Mochammad Hilman Alfiqhy
Baca juga artikel-artikel lainnya mengenai Pendidikan Islam di sini.