Ilmu Merupakan Poros Perjuangan Dalam Islam

Islam bisa tegak dengan dua sebab, yaitu dengan:

1. Jihad melalui Hujjah Al Quran
2. Jihad melalui senjata

Akan tetapi, menegakkan Islam melalui jihad dengan Hujjah Al Quran dalam memerangi hawan nafsu dan kebodohan terhadap agama, serta dalam mematahkan argumen orang-orang sesat dan kafir; merupakan asas dan asal muasal yang selanjutnya menjadi sebab bangkitnya semangat dan kemampuan untuk Jihad dengan mengangkat senjata.
Sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Taimiyah –rahimahullah- ketika menjelaskan surat Al Hadiid: 25 berkata:

“Maka tegaknya Agama adalah dengan sebab Kitab (Al Quran) yang memberi petunjuk dan dengan sebab pedang yang menolong. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. Namun, Kitab Al Quran merupakan pokoknya. Oleh karena itu, pada permulaan Allah mengutus RasulNya; Allah menurunkan Al Quran padanya. Dan Rasulullah tinggal di Mekah sedangkan Allah tidak memerintahkan beliau mengangkat pedang (baca: perang) sampai beliau hijrah dan memiliki para penolong dalam Jihad.” (Majmuu’ Al Fataawaa, 28/234)

Akan tetapi, kedua macam jihad tersebut selalu digagalkan oleh pihak ketiga. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah -rahimahullah-, ia berkata:

“Tatkala jihad melawan musuh-musuh Allah dari luar (eksternal) merupakan cabang dari jihad seorang hamba terhadap hawa nafsunya di jalan Allah -sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‘Orang yang berjihad (mujahid) sebenarnya adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Allah, dan orang yang hijrah (muhajir) sebenarnya adalah orang yang berhijrah meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.’ (HR. Ahmad)-;
Maka, jihad melawan hawa nafsu (internal) tersebut lebih didahulukan dari pada jihad melawan musuh dari luar (eksternal, dan jihad melawan hawa nafsu itu merupakan asal muasal jihad! Karena; orang yang belum berjihad melawan hawa nafsunya terlebih dahulu agar bisa mengamalkan apa-apa yang diperintahkan Allah serta menjauhi laranganNya dan belum memerangi hawa nafsunya di jalan Allah, maka ia tidak akan mampu berjihad melawan musuh eksternalnya!

Bagaimana mungkin ia bisa berjihad dan menang melawan musuh (eksternal)nya sedangkan musuh (internal) yang berada di dalam dirinya sendiri masih menguasainya dan mendominasi dirinya!? Yakni, Ia belum berjihad melawan hawa nafsunya dan belum memeranginya di jalan Allah!? Padahal, justru ia tidak akan mampu keluar memerangi musuh dari luar (ekternal) sampai ia berjihad menaklukkan hawa nafsunya dulu agar berani keluar (untuk berjihad memerangi musuh eksternal –pent.).

Kedua musuh inilah yang mana seorang hamba sungguh telah diuji dengan kewajiban berjihad terhadap kedua-duanya itu. Sedangkan diantara kedua musuh tersebut sebenarnya ada musuh yang ketiga; yang mana tidak mungkin bejuang menghadapi kedua musuh tersebut kecuali dengan berjihad melawan musuh yang ketiga ini! Musuh ketiga ini berdiri tegak di antara kedua musuh tersebut untuk menakut-nakuti, menggagalkan, dan membuat gentar tekad seorang hamba dalam berjihad terhadap kedua musuh tersebut. Musuh ketiga ini senantiasa mengkhayalkan terhadap seorang hamba akan adanya kesulitan, keuntungan (duniawi) yang ditinggalkan, terluputna kelezatan, dan keinginan-keinginan hawa nafsu! Maka, tidak mungkin bisa berjihad melawan kedua musuh tersebut kecuali dengan disertai jihad melawan musuh yang ketiga ini

Oleh karennya, jihad melawan musuh yang ketiga ini merupkan pokok dalam berjihad melawan kedua musuh lainnya (yakni; musuh eksternal dan musuh internal). Dan musuh ketiga ini adalah Syetan! Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu)…!” (QS. Fathir: 6) sedangkan perintah Allah agar menjadikan Syetan sebagai musuh merupakan peringatan agar mengerahkan seluruh kemampuan dalam memeranginya dan berjihad melawannya. Seakan-akan ia adalah musuh yang tidak bosan dan tidak berkurang usahanya dalam memerangi seorang hamba sebanyak hembusan nafas!” –selesai nukilan- (Zaadul Ma’aad, 3/6).

Oleh karena itu, apabila seseorang mengobarkan jihad dengan pedang sebelum benar-benar berjihad melawan kebodohan dirinya; maka justru hanya akan menghasilkan kekacauan dan dia mudah tertipu oleh seruan-seruan yang mengatasnamakan jihad tanpa bisa membedakan jihad yang benar secara syar’i atau mana jihad yang sesat dan menyesatkan. Bahkan ketika nanti tiba saatnya jihad syar’i ditegakkan, justru orang-orang seperti itu diuji oleh Allah Ta’ala dengan perhiasan dunia sehingga padam semangat juangnya. Na’udzubillahi min dzaalik.

Hal itu sebagaimana yang Allah sindir dalam firmanNya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ

Artinya: “tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!’ setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: ‘Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai kepada beberapa waktu lagi?’ Katakanlah: ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.’” QS Annisa: 77

Allah Ta’ala akan menolong kita tatkala kita menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Sedangkan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah tersebut tidak bisa diketahui kecuali dengan ilmu tentang hal tersebut. Oleh karena itu, semuanya kembali berporos pada ilmu, yakni ilmu tentang syariat Islam; maka diraihnya kemenangan dan kekuasaan adalah dengan sebab ilmu.

================

Disusun oleh: Muhammad Hilman Alfiqhy.
disarikan dari kitab: Sittu Durar, karya Syaikh Abdul Malik Ar-Ramadhani -hafizhahullah-

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: