Janganlah paksakan anak kita untuk menjiplak kelebihan potensi orang lain. Setiap anak memiliki keahlian dan keistimewaan masing-masing, maka jangan paksakan seorang anak untuk sama persis keahliannya dengan orang lain, namun biarkan ia tumbuh sesuai dengan minat dan kecondongan bakatnya selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kenyataan tersebut penting untuk diketahui, terutama oleh para pengajar dan orang tua agar tidak terlalu menuntut anak-anaknya untuk memiliki kelebihan yang sama persis dengan orang lain. Demikian juga pada saat ini yang mana anak-anak baru mendapatkan nilai rapor sekolah, sebagian orang tua ada yang memarahi anaknya dengan berlebihan karena anaknya yang memiliki nilai rendah dan tidak sebagus nilai akademik teman-temannya yang berprestasi, sehingga bahkan ada yang sampai menganggap anaknya “tidak berguna”! Na’uzdubillahi min dzalik.
Tentunya, jika sang anak mendapatkan nilai rendah itu karena kemalasannya maka harus ada teguran seperlunya agar ia tidak menyepelekan pentingnya berusaha dan berjuang. Yang penting ada usaha, adapun hasilnya serahkan kepada Allah Ta’ala yang akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi hamba-hambaNya.
Kita ketahui bersama, bahwa pada faktanya, nasib kehidupan yang dihadapi anak-anak kita kelak tidak bisa diukur hanya dengan nilai-nilai akademik yang terscantum di rapor. Karena sudah tidak dapat kita pungkiri, bahwasannya betapa banyak siswa berprestasi secara akademik namun tidak mampu menghadapi tantangan kehidupan di luar sekolah. Dan betapa banyak anak yang kurang nilai akademiknya, namun mampu meraih kesuksesan dengan sebab mereka berhasil mengasah potensi yang Allah berikan. Maka, tentu akan sangat luar biasa tatkala seorang anak berprestasi secara akademik juga berhasil mengasah potensi dirinya sehingga menjadi orang besar yang istimewa.
Untuk memahami fakta adanya potensi istimewa pada diri setiap orang, dari perspektif agama mari perhatikan dalil-dalil Al Quran dan Sunnah dan juga penjelasan para ulama berikut ini:
[1]. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan manusia secara sia-sia, pasti memiliki tujuan besar yang mulia. Sebagaimana Allah Sang Pencipta manusia telah berfirman:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira kami menciptakanmu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami!?”
[2] Tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia MELAINKAN UNTUK BERIBADAH KEPADA-KU.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
[3] Dan dalam menjalankan penghambaannya kepada Allah, ditinjau dari pelaksanaan kehidupan di bumi ini maka manusia mendapatkan tugas sebagai berikut:
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
“…dia telah menciptakan kalian dari bumi dan MENJADIKAN KALIAN PEMAKMURNYA…” (QS. Al Hud: 61).
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya tatkala menafsirkan ayat tersebut menjelaskan bahwa: “Allah telah menjadikan kalian sebagai para pemakmur bumi yang akan memakmurkan dan memanfaatkan bumi.”
Bumi ini mengandung berbagai macam sumber daya yang tidak mudah untuk dimanfaatkan sehingga menghasilkan kemakmuran bersama kecuali oleh ahlinya. Misalnya, barang tambang tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh para ahli tambang, lahan pertanian tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh ahli pertanian, lautan tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh ahli kelautan, dan seterusnya. Bidang-bidang keahlian tersebut apabila hendak dipelajari oleh seseorang sehingga menjadi ahli dalam memanfaatkannya maka harus benar-benar meneliti dengan penuh antusias, sedangkan seseorang akan antusias dalam meneliti dan mempelajari sesuatu bila disertai dengan adanya kemampuan dan rasa suka, maka inilah membutuhkan minat dan bakat.
[4] Diantara dalil lain yang mengisyaratkan adanya keunikan keistimewaan kemampuan yang berbeda-beda pada masing-masing orang, mari renungkan firman Allah Yang Maha Bijaksana berikut ini:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلاً
“….Katakan (Muhammad) bahwa setiap orang akan berbuat SESUAI PEMBAWAANNYA MASING-MASING, maka Robbmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al Isra’ : 84)
Sebagian ulama, seperti imam Mujahid menafsirkan kalimat ayat: “Sesuai Pembawaannya Masing-Masing” bahwa maksudnya adalah : عَلَى حِدَّتِهِ وَطَبِيعَتِهِyakni: Sesuai Dengan Keahliannya Dan Tabi’atnya. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir).
Dari keempat poin dan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia hidup di dunia ini untuk memakmurkan bumi sesuai dengan keistimewaan, keahlian, atau potensi masing-masing, dan itu semua dilaksanakan dalam rangka beribadah mengharapkan ridha Allah sehingga segala yang dilakukan manusia itu tidak boleh bertentangan dengan aturan Allah subhanahu wa ta’ala.
Qadarullah, sayangnya hal tersebut belum bisa dipetakan secara detail pada penilaian di rapor yang mana sistem sekolah-sekolah dasar kita belum mampu mengeluarkan rapor yang disesuaikan dengan potensi masing-masing siswa.
Oleh karena itu, menjadikan patokan kesuksesan masa depan anak hanya dari satu potensi saja, seperti menganggap bahwa “anak yang memiliki potensi ranking yang paling bagus itu pasti akan sukses!” maka tentu ini anggapan yang terlalu sempit dan akan mengakibatkan sikap yang tidak adil sehingga terjerumus pada sikap zhalim terhadap anak-anak didk kita. Akan tetapi, tentu saja rapor sekolah pun masih diperlukan, diantaranya untuk mengukur kemampuan anak-anak, agar dapat diketahui manakah ilmu yang diminati dan mudah diserap oleh anak-anak kita sehingga nantinya dapat dikembangkan untuk menjadi bekal masa depan mereka dan dan kita pun semakin bijak dalam bersikap terhadap kekurangan dan kelebihan anak-anak kita sehingga tetap optimis dalam mendidik dan membimbing mereka menjadi orang-orang yang kelak memakmurkan bumi dengan mendapatkan ridha ilahi sehingga sukses secara duniawi dan kelak mendapatkan surga yang abadi. Insya Allah.
Metode Nabi dalam Menamakan Sikap Optimis pada Jiwa Para Sahabatnya Sejak Dini
Dahulu Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam selalu mengapresiasi setiap kelebihan yang dimiliki oleh para sahabat dan bahkan memanfaatkannya sehingga semua sahabat-sahabat Nabi merasa menjadi orang yang berarti di hadapan Rasulullah, tidak ada yang disia-siakan, tidak ada yang berkecil hati karena direndahkan! Semuanya merasa memiliki peran sesuai kapasitas masing-masing dalam perjuangan Islam sehingga mereka benar-benar bersemangat dan tulus dalam berjuang.
Karena sikap yang demikianlah yang telah Allah Ta’ala ajarkan, sebagimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.”( QS. Ali ‘Imran: 139)
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dahulu memotivasi anak-anak untuk berlomba menampakkan kemampuan tersembunyi dan keberanian yang ada pada diri mereka masing-masing. Diantaranya: dengan memberikan pertanyaan kepada para Sahabat yang diantara mereka ada yang telah dewasa dan ada yang masih kecil, dan begitu juga Rasulullah pernah mengajak anak-anak berlomba balapan dengan memberi hadiah bagi pemenangnya. [Athfaalul muslimiin kaifa rabbaahumun Nabiy, 82 & 89]
Dahulu ada seorang anak muda bernama Abu Mahdzurah, saat itu ia belum masuk Islam bahkan membenci syi’ar Islam seperti adzan! Suatu ketika ia mendengar adzan bersama teman-temannya, lalu ia dan teman-temannya meniru adzan tersebut untuk mempermainkannya dan mengolok-oloknya. Dan Abu Mahdzurah memiliki suara yang paling merdu lalu ia pun mengeraskan suaranya itu sampai terdengar oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah memerintahkan agar Abu Mahdzurah dibawa ke hadapan beliau. Pada saat itu, Abu Mahdzurah sudah mengira akan dibunuh atas perbuatannya. Akan tetapi, Rasulullah malah mengusap kepala dan dada Abu Mahdzurah lalu beliau mengajarkannya adzan dan memerintahkannya untuk menjadi mu’adzdzin di kota Mekah! Saat itu ia masih berumur 16 tahun. Sejak saat itu hatinya penuh dengan keimanan dan kecintaan terhadap Rasulullah. Maka ia dengan suka cita menjadi mu’adzdzin di Mekah sampai meninggal -radhiallahu ‘anhu-, bahkan keturunannya pun secara turun temurun menjadi mu’adzdzin di Mekah. (HR. Muslim, secara makna).
Dalam kisah tersebut, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sangat pandai dalam membangkitkan dan memanfaatkan kelebihan seseorang agar tidak terbengkalai atau agar tidak digunakan untuk penyimpangan.
Dalam hal ini, ada kisah yang lain pula, kisah Zaid bin Tsabit -radhiallahu ‘anhu-, ketika masih kecil, keluarganya membawanya kepada Rasulullah -shallalahu ‘alaihi wa sallam- untuk didaftarkan menjadi pasukan perang untuk jihad fi sabiilillah bersama beliau, pada saat perang Badar, namun beliau menolaknya karena Zaid masih terlalu kecil badannya dan juga umurnya. Kemudian pada perang Uhud, pun belum diperkenankan karena alasan yang sama. Akan tetapi, keluarganya tidak putus harapan untuk menjadikan anaknya menjadi orang yang berperan dalam perjuangan dakwah Islam, kemudian mereka membawa Zaid kepada Rasulullah yang sebelumnya telah mempersiapkan Zaid agar memiliki kemampuan yang diandalkan untuk perjuangan Rasulullah walaupun Zaid masih kecil.
يا رسول الله! هذا غلام من بني النجار، وقد قرأ مما أنزل عليك سبع عشرة سورة
“Wahai Rasulullah, ini Zaid, telah menghafal 17 surat Al Quran..” Ujar keluarganya dengan penuh optimis. Lalu Zaid pun membacakan hafalannya itu dengan tartil dan indah sehingga membuat Rasulullah takjub dan senang, sehingga beliau menugaskan Zaid untuk menjadi sekretaris beliau dan mengamanatkannya menulis wahyu.
Dan Rasulullah pun bersabda kepada Zaid:
يا زيد! تعلم لي كتاب يهود، فإني -والله- ما آمنهم على كتابي
“Wahai Zaid, pelajarilah tulisan (berbahasa) Yahudi, karena -Demi Allah- Aku tidak merasa aman atas kebohongan mereka terhadap suratku!”
Maka Zaid pun mampu menguasai bahasa dan tulisan Yahudi dalam waktu setengah bulan.
Di lain waktu, Rasulullah pun bertanya kepada Zaid:
أتحسن السريانية؟
“Apakah kau menguasai bahasa Suryani?”
Zaid menjawab “Tidak.” Kemudian Rasulullah memerintahkannya untuk mempelajari bahasa Suryani maka Zaid mempelajarinya dan bahkan mampu menguasai bahasa Suryani hanya dalam waktu 17 hari!
(Diringkas dari kitab Siyar A’laam An Nubalaa’).
# Dalam kisah Zaid dan keluarganya tersebut pun menunjukan pentingnya kerjasama keluarga untuk mencari potensi yang ada pada anak, karena seringkali seseorang tidak menyadari kelebihan yang ada pada dirinya dan butuh orang lain yang mengingatkannya, dan bahwasannya ketika seseorang lemah dalam bidang tertentu maka carilah bidang lainnya pasti ada suatu bidang lain yang merupakan potensi bakatnya yang Allah anugerahkan padanya sebagai bekal untuk memakmurkan bumi ini.
Sebagian orang mengira bahwa perhatian terhadap urgensi penjurusan bakat anak-anak didik merupakan ide zaman sekarang setelah berkembangnya ilmu psikologi!? Padahal faktanya, Justru penjurusan tersebut telah dikenal dan diaplikasikan oleh kaum muslimin pada metode pendidikan mereka dari dahulu kala. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Al Zarnuji (w. 591 H) dalam Talim Muta’allim, Imam Syathibi (w. 790 H), dan Ibnul Jama’ah (w. 733 H). Demikian pula Ibnul Jauzi (w. 597 H) telah menjelaskan tentang pentingnya mempersiapkan kesiapan fitrah (isti’daadul fithriy) para peserta didik dalam proses pendidikannya. Dan para ahli pendidikan Islam dari dahulu memandang bahwa penjurusan bakat tersebut diterapkan setelah para anak didik melewati tahapan pendidikan dasar, yakni: setelah belajar dasar-dasar penting dari setiap cabang-cabang ilmu penting seperti membaca, menulis, dan matematika, dsb. Kemudian setelah itu mulailah dijuruskan sesuai dengan potensi bakatnya masing-masing. Pandangan tersebut pun sesuai dengan pandangan yang disepakati para ahli pendidikan modern zaman sekarang. [At Tarbiyyah ‘abra Taariikh, 189-193)
Apakah Pada Generasi Awal Umat Islam Sudah Ada Pendidikan Di Sekolah?
Masalah ini penting untuk dibahas karena ada sebagian orang yang tatkala sangat kecewa dan pesimis dengan sistem pendidikan sekolah saat ini, lantas kemudian ia menganggap bahwa sekolah merupakan bentuk pendidikan yang salah dan harus ditinggalkan secara total! sehingga pendidikan yang baik menurutnya hanya di rumah atau home schooling!?
Memang pada sebagian keluarga, tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang tua yang mampu mendidik anak-anaknya di rumah, dan hal itu pernah terjadi di masa Nabi. Suatu ketika Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang yang datang kepada beliau dan cukup lama belajar kepada beliau: “Pulanglah kalian kepada keluarga kalian dan didiklah mereka!” (HR. Bukhari, no. 97). Atau ada juga orang tua yang karena ada faktor-faktor penting lain yang menyebabkan orang tua tidak sempat mengajar anak-anaknya walaupun mampu, maka ia mendatangkan pengajar ke rumahnya untuk mendidik anak-anaknya. Ini pun pernah terjadi pada sahabat Nabi, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash memanggil seorang lelaki dari Iraq untuk mengajarkan kitab Al Quran kepada anak-anaknya dan ia memberikannya upah. (Ibnu Sahnun, kitab Aadaab al mu’allim, 37). Ibn Hajar, dalam bukunya yang berjudul; Al-Ishaabah (7: 727) meriwayatkan bahwa Syifa binti Abdullah Al Adawiyyah Al Qurashiyyah adalah salah seorang perempuan pertama yang hijrah, dia diperintahkan oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– untuk mengajarkan baca tulis kepada Hafshah ummul Mu’minin.
Akan tetapi, tatkala berdiri kedaulatan umat Islam di Madinah, maka kebutuhan-kebutuhan fasilitas untuk media dakwah pun semakin besar dan begitu pula kebutuhan fasilitas pengaturan negara semakin banyak. Sehingga hal tersebut menuntut kegigihan yang besar terhadap eksistensi pendidikan untuk mendidik umat secara lebih masif dan terstruktur sehingga mampu menjadi generasi yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pendidikin seperti itu tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pendidikan keluarga masing-masing / home schooling, karena telah dimaklumi bersama bahwa tidak semua keluarga memiliki kemampuan yang layak dalam mendidik.
Oleh karea itu, proyek pertama yang dibangun oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam tatkala sampai ke Madinah adalah membangun masjid Nabawi, yang akan menampung proyek besar untuk proses pendidikan umat, kemudian didirikan pula delapan masjid lainnya di wilayah lainnya. Di masjid-masjid itulah manusia berkumpul untuk melaksanakan shalat wajib 5 kali sehari, dan dilaksanakannya majlis-majlis ilmu, dan kegiatan-kegiatan penting lainnya. Bergitulah peran penting masjid yang berlanjut secara turun temurun. Di pinggiran masjid kota Madinah terdapat pula markaz pendidikan lainnya, Ibnu Masud berkata: “Aku telah membaca 70 surat Al Quran kepada Rasulullah, sedangkan saat itu Zaid bin Tsabit yang masih berkuncir rambutnya telah bulak balik ke Kuttab. (Musnad Ahmad, 1:389) Demikian juga Anas bin Malik telah mengabarkan adanya Kuttab dan Mu’addib (pengajarnya) di masa Khulafah Rasyidin. Kami tidak mengetahui secara detail berapakah jumlah penyebaran Kuttab-Kuttab di Madinah atau di tempat lainnya , tetapi ada isyarat bahwa di Thaif pun telah ada Kuttab karena Jarir bin Hayyah Al Tsaqafi mengajar di Kuttab tersebut. (Ibnu Jarir, Al Ishabah 1:462, [dinukil dari kitab ‘Ashrul Khilaafah Al Raasyidah, karya Akram Al Umr]).
Kuttab adalah suatu tempat yang khusus menampung anak-anak untuk dididik baca tulis Al Quran serta menghafalnya, dan diajarkan juga dasar-dasar ilmu lainnya. Pada zaman sekarang, sama seperti madrasah Ibtidaiyah atau sekolah dasar. Baca juga di sini.
Dari nukilan-nukilan sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa sistem pembelajaran seperti sekolah yang merupakan tempat menitipkan anak-anak untuk belajar bersama, sudah ada sejak zaman generasi awal Islam.
Apakah Kurikulum atau Materi Yang Diajarkan pada Anak-anak Di Kuttab?
Dalam sistem Pendidikan anak di dunia Islam pada umumnya semenjak bersinarnya cahaya pendidikan serta sejak mulai seriusnya para ulil amri menangani pendidikan umat; terdapat hal yang telah disepakati, yaitu: bahwa adanya eksistensi pendidikan Kuttab dan para pengajar ahli yang diberi gaji. Keterangan yang otentik menyatakan bahwa kuttab-kuttab tersebar sejak setelah generasi permulaan umat Islam. Dan diantara hal yang telah disepakati secara umum dalam pendidikan Islam adalah memulai tahapan pendidikan dengan pelajaran tahfiidz Al Quran, membaca dan menulis, dan para pengajarnya apabila memberi hukuman memulai dengan hukuman yang lembut dan tidak langsung dengan kekerasan. (Lihat: At Tarbiyah fil Islam, karya Ahmad Al Ahwani, hlm: 70 dan 257)
Dari keterangan materi ajar yang diajarkan di Kuttab tersebut maka dapat diketahui juga, bahwa penjurusan minat dan bakat dalam pendidikan itu mulai diterapkannya setelah anak-anak menyelesaikan pendidikan di Kuttab atau setelah sekolah dasar di zaman ini, setelah mendapatkan pendidikan dasar agama yang cukup agar anak-anak kelak memiliki prinsip yang benar dalam menggunakan potensi kemampuan mereka masing-masing agar mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah- pun menyatakan bahwa: “Diantara yang seharusnya ditekankan (dalam pendidikan Anak) adalah mengenai keadaan anak dan kesiapan diri anak serta penyesuaian anak untuk menghadapi pekerjaannya kelak, maka dari itu anak diajari (tentang suatu keahlian) yang memang ia diciptakan dengan kemampuan (bakat) tersebut, namun jangan pula mengarahkan anak pada sesuatu yang tidak dibolehkan oleh Syari’at. Maka apabila sang anak dibawa kepada sesuatu yang bukan (bakatnya) yang telah disiapkan untuknya maka ia tidak akan berhasil padanya dan terluputlah suatu (bakat) yang seharusnya ia disiapkan padanya!….” Dan beliau pun menkekankan bahwa: “…. Akan tetapi, itu semua adalah SETELAH SANG ANAK DIAJARI PERKARA YANG IA BUTUHKAN MENGENAI AGAMANYA! Karena perkara agama Islam tersebut adalah perkara yang bisa dipelajari oleh semua orang, sehingga hujjah Allah ditegakkan kepada hambanya karena Allah memiliki hujjah yang nyata yang harus ditegakkan kepada hambaNya, sebagaimana Dia pun memiliki nikmat yang sempurna yang dianugerahkan terhadap hambaNya. Wallahu A’lam.” (Tuhfatul Mauduud, hlm: 353-354)
Wallahu A’lam.
=============================
Ditulis oleh: Mochammad Hilman Alfiqhy
Pertengahan Ramadhan 1441 H.
Pesantren Annajiyah, Bandung.