PENDAPAT PARA IMAM MAZHAB HANAFI :
Para fuqaha dari mazhab Hanafi merupakan para Ulama yang paling banyak menjelaskan mengenai permasalahan status suatu Negeri serta penjelasan cabang-cabang permasalahan tentangnya. Sebagian dari mereka secara terang-terangan menegaskan bahwasannya al-manaath (ukuran suatu negeri dikatakan negeri Islam atau negeri kafir) adalah Kekuasaan (al-ghalbah) dan Pemerintahan (al-wilaayah) suatu negeri. Dan, sebagian mereka pun menyebutkan bahwa syi’ar-syi’ar yang tampak dan hukum yang berlaku bagaikan suatu dalil yang cukup atas suatu status kekuasaan dan pemerintahan tertentu. Dan diantara mereka juga ada yang menetapkan kedua kriteria tersebut bersamaan.
As-Sarakhsiy dalam kitabnya Al Mabsuuth menetapkan :
“Suatu wilayah itu dinisbatkan kepada kita (kaum Muslimin) atau kepada mereka (kaum Kafir) adalah dengan berdasarkan Kekuatan dan Kekuasaan. Setiap daerah yang padanya tampak hukum Syirik maka daerah tersebut milik orang-orang Musyrik dan menjadi negeri Harbi (yang layak diperangi). Dan setiap daerah yang padanya tampak hukum Islam maka Kekuatan padanya milik kaum Muslimin.” [ Al Mabsuuth : 10/114].
Ini pun telah ditetapkan oleh pengarang kitab Qawaa-id Al Fiqh, ketika berkata :
“Negeri Islam adalah suatu daerah yang padanya kaum Muslimin menang dan aman, sedangkan negeri Harbi (negeri Kafir yang layak diperangi) adalah negeri yang kebalikan dari negeri Islam, yakni negeri yang berkuasa padanya selain kaum Muslimin.” [Qawaa-id Al Fuqahaa : 1/288].
Inilah ia Ibnu Abidin, ia hanya mencukupkan dengan berkuasanya kaum Muslimin serta mereka memegang pemerintahan terhadap suatu negeri sebagai ukuran untuk menghukumi bahwa negeri tersebut adalah bagian dari negeri-negeri Islam walaupun tidak ditemukan pada negeri tersebut tanda-tanda diterapkannya hukum yang diturunkan Allah. Ibnu Abidin berkata :
“…dan dengan ini tampaklah bahwasannya apa yang ada di Syam dari gunung Taimullah yang dinamakan gunung Duruz serta negeri-negeri sekitarnya semuanya adalah negeri Islam. Karena walau pun pemerintahannya merupakan pemerintah Duruz atau Nasrani dan mereka memiliki hakim tersendiri bagi agama mereka serta sebagian dari mereka pun ada yang terang-terangan mencela Islam dan kaum Muslimin, akan tetapi mereka berada dibawah hukum pemerintah kita (kaum Muslimin) dan negeri-negeri Islam mengelilingi negeri-negeri mereka dari semua arah, dan apabila Ulil Amri kita menginginkan menerapkan hukum-hukum kita pada mereka maka akan terlaksana.” [Hasyiyah Ibnu ‘Abidiin, 4/175].
Bila Ibnu Abidin mencukupkan dalam pendapatnya yang terakhir ini dengan berkuasanya kaum Muslimin terhadap suatu negeri serta masuknya negeri tersebut dalam pemerintahan kaum Muslimin agar negeri tersebut dihukumi sebagai bagian dari negeri-negeri Islam walau pun tidak ada hukum-hukum Syari’at, maka inilah ia Al Jashshash yang berpendapat dengan kedua kriteria di atas. Ia berkata :
“Sesungguhnya status hukum suatu negeri itu tergantung dengan kemenangan dan kekuasaan serta hukum agama yang berlaku. Dalilnya adalah bahwasannya kita apabila menang terhadap suatu negeri Harbi (negeri kafir yang layak diperangi) dan kita terapkan hukum-hukum kita padanya maka negeri tersebut menjadi negeri Islam, sama saja apakah negeri itu berdekatan dengan negeri Islam atau tidak berdekatan. Dan begitu juga suatu wilayah dari negeri Islam jika dikuasai oleh kaum Kafir dan hukum mereka diterapkan pada wilayah itu maka mestilah wilayah itu menjadi negeri Harbi.” [Syarh Mukhtashar Ath Thahawiy, karya Al Jashshash, naskah asli dinukil dari kitab Al ‘Aulamah, halaman 100].
Begitu juga As Sarakhsiy menyebutkan kedua kriteria tersebut bersamaan, ia berkata :
“Sesungguhnya negeri Islam adalah suatu nama bagi tempat yang berada di bawah kekuasaan kaum Muslimin, dan tandanya adalah kaum Muslimin hidup aman di dalamnya.” [Syarh As Siyar 3/81. Perhatikanlah kalimat “dan tandanya adalah…”].
Dan pada kesempatan yang lain, ia berkata :
“Yang menjadi perhitungan bagi status hukum suatu negeri adalah penguasa, kekuasaan, dan kekuatan dalam menampakkan suatu hukum.” [Syarh As Siyar 5/1073].
Dan yang terakhir, berkata Al Kaasaaniy :
“Tidak ada perselisihan diantara sahabat-sahabat kami (semazhab) bahwa sesungguhnya negeri Kafir itu akan berubah menjadi negeri Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam pada negeri itu.” [Badaa-i’ Ash Shanaa’i 7/ 130].
Penulis kitab Ad Daar Al Mukhtaar (3/130) telah memaknai apa yang dimaksud oleh para Ulama mazhab Hanafi mengenai ukuran dikategorikan tampaknya hukum-hukum Islam di suatu negeri itu. Sebagaimana dalam perkataannya :
“…dan negeri Kafir itu akan berubah menjadi negeri Islam dengan penerapan hukum-hukum Islam pada negeri tersebut, seperti shalat Jum’at dan shalat ‘Ied…”.
PENDAPAT PARA ULAMA MAZHAB MALIKI :
Adapun para Ulama mazhab Maliki telah menjadikan adzan sebagai tanda pembeda antara negeri Islam dan negeri Kafir. Hal itu karena adzan merupakan suatu ciri tampaknya syi’ar-syi’ar Islam yang merupakan bagian dari tanda-tanda berkuasanya kaum Muslimin serta berkuasanya mereka terhadap suatu negeri.
Ibnu Abdil Barr berkata :
“…dan kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai wajibnya adzan secara umum bagi penduduk kota-kota, karena adzan merupakan bagian dari ciri yang membedakan antara negeri Islam dan negeri Kafir. Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam apabila mengutus suatu pasukan, beliau bersabda pada mereka : “apabila kalian mendengarkan adzan maka tahanlah diri-diri kalian (dari perang).” [Al Istidzkaar, 4/18. Dan lihat juga At Tamhiid, 3/61].
Al Maazariy berkata :
“dalam adzan itu terdapat dua makna, salah satunya untuk menampakkan syi’ar-syi’ar dan memberitahukan bahwa negeri tersebut adalah negeri Islam”. [ Adz Dzakhiirah, karya Al Qarraafiy, 2/58].
Az Zarqaaniy berkata :
“…adapun di Mesir, maka wajib Kifayah, kalau mereka (penduduknya) sepakat untuk meninggalkan adzan maka mereka berdosa dan mereka akan diperangi, karena adzan merupakan syi’ar Islam dan bagian dari tanda-tanda yang membedakan antara negeri Islam dan negeri Kafir.” [Syarh Az Zarqaaniy, 1/148. Dan lihat juga Al Muntaqaa, karya Al Baajiy, 1/133].
Al ‘Abdariy berkata :
“…dalam adzan itu sebagai waktu shalat, panggilan untuk berjama’ah, tanda tempat shalatnya, menampakkan syi’ar Islam, dan menunjukkan bahwasannya negeri itu adalah negeri Islam.” [At Taaj wa Al Ikmaal, 1/451].
Ahmad bin Gunaim berkata :
“…dan diantara faidahnya adalah memberitahukan bahwasannya negeri itu adalah negeri Islam.” [Al Fawaaqih Ad Dawaani, 1/171].
PENDAPAT PARA ULAMA MAZHAB SYAFI’IY
Para Ulama Syafi’iyyah membagi negeri Islam menjadi tiga bagian , hal itu tampak jelas pada perhatian mereka terhadap manaath / ukuran supremasi suatu negeri dan kekuasaannya.
Bahkan salah seorang pembesar Ulama Syafi’iyah, yakni Ar Raafi’iy dengan jelas berpendapat seperti itu, ia berkata :
“Cukuplah keadaan negeri itu sebagai negeri Islam bila negeri itu di bawah kekuasaan al imaam (Pemimpin kaum Muslimin) walau pun di dalam negeri tersebut tidak ada seorang Muslim.” [Fathul Aziiz, 8/14].
Kalimat terakhir dari perkataan penting di atas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh para Ulama mazhab Hanafi.
Al Mawardiy telah membagi negeri yang dikuasai kaum Muslimin menjadi tiga bagian, hal itu tampak jelas dari penadapat para Ulama Syafi’iyyah bahwa yang menjadi ukuran bagi mereka adalah kekuasaan dan kepemilikan terhadap tanah-tanah. Al Mawardi berkata :
“Adapun tanah-tanah apabila dikuasai kaum Muslimin maka dibagi menjadi tiga bagian :
Bagian Pertama, adalah tanah yang dimiliki dengan cara direbut secara paksa samapi penduduknya meninggalkannya karena mereka terbunuh atau menjadi tahanan atau diusir… tanah tersebut menjadi negeri Islam, sama saja apakah kaum Muslimin menempati tanah tersebut atau pun dikembalikan kepada kaum Musyrikin akan tetapi kepemilikinnya tetap di tangan kaum Muslimin, dan tanah tersebut tidak boleh diberikan kepemilikannya kepada kaum Musyrikin agar tidak kembali menjadi negeri harbi (negeri Kafir yang layak diperangi).
Bagian yang kedua, adalah tanah bekas kaum Musyrikin yang dimilik oleh kaum Muslimin sebagai pengampunan atas dibolehkannya kaum Musyrikin pergi karena ketakutan, maka dengan dikuasainya tanah tersebut menjadi waqaf…. dan daera tersebut menjadi negeri Islam.
Bagian ketiga, adalah tanah yang dikuasai dengan diadakannya perjanjian permohonan damai (dari kaum Musyrikin) agar tanah tersebut tetap berada di tangan kaum Musyrikin dengan pajak (kharraj) yang akan mereka bayar (kepada pemerintah kaum Muslimin), dan hal yang demikian itu ada dua keadaan; yang pertama, memberikan keamanan bagi mereka dengan ketentuan kepemilikan tanahnya milik kita (kaum Muslimin), maka dengan perjanjian tersebut tanah tersebut menjadi waqaf dari negeri Islam. Yang kedua, memberikan mereka perjanjian damai dengan ketentuan tanah mereka (kaum Musyrikin) tetap milik mereka tetapi mereka diwajibkan membayar pajak (kharraj) (kepada pemerintah kaum Muslimin), dan pajak tersebut hukumnya seperti Jizyah yang mana kapan saja mereka masuk Islam maka kewajiban pajak tersebut akan gugur, dan tanah tersebut tidak menjadi negeri Islam akan tetapi menjadi negeri ‘ahdin (negeri yang mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin)…
Dan Abu Hanifah berkata : ‘sungguh negeri kaum Musyrikin dengan perjanjian damai itu telah menjadi negeri Islam, dan dengan perjanjian tersebut mereka itu menjadi ahlu dzimmah (orang Kafir yang melakukan perdamaian dengan kaum Muslimin) yang akan diambil pajak Jizyah dari mereka.’” [Al Ahkaan As Sulthaaniyyah, karya Al Mawardi, halaman 173].
Dan begitulah, kita bisa melihat bahwa semua bentuk penguasaan/penaklukkan dari kaum Muslimin (terhadap negeri kaum Musyrikin) akan menjadikan negeri mereka itu menjadi negeri Islam, sama saja apakah kaum Muslimin menempati tanah taklukkan tersebut atau pun tidak menempatinya, sama saja apakah di daerah tersebut diterapkan hukum Islam ataukah tidak, kecuali pada keadaan tertentu; yakni pada pembagian keadaan yang terakhir dalam penjelasan Al Mawardiy di atas, yaitu pada perjanjian yang padanya ada kesepakatan kepemilikan tanah bagi kaum Kafirin, maka daerah tersebut menjadi negeri ‘ahdin menurut ulama Syafi’iyyah, sedangkan menurut Abu Hanifah daerah tersebut menjadi negeri Islam.
PENDAPAT PARA ULAMA MAZHAB HAMBALI
Pembagian seperti yang dipaparkan para Ulama Syafi’iyah di atas, kita dapatkan juga pada mazhab Hambali, yang mana hal tersebut menunjukkan perhatian mereka terhadap patokan kriteria negeri Islam dan kafir yang telah dijelaskan di atas, dan mereka menjadikan patokan tersebut sebagai sandaran mereka dalam menentukan kriteria negeri Islam dan kafir.
Ibnu Qudamah berkata :
“Adapun negeri Islam, maka ada dua macam, yakni :
Pertama : suatu negeri yang dibangun oleh kaum Muslimin seperti Baghdad, Bashroh, dan Kufah, maka laqiith (anak kecil temuan yang tidak diketahui status keluarganya) di daerah tersebut dihukumi sebagai Muslim walau pun di daerah tersebut terdapat Ahlu Dzimmah (orang Kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin) sebagai pengagungan terhadap Islam yang dominan serta keadaan yang tampak dari negeri tersebut, sebab Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggian Islam.
Kedua, suatu negeri yang ditaklikkan oleh kaum Muslimin seperti negeri-negeri di daerah Syam, maka ada anak kecil yang ditemukan di negeri-negeri tersebut dihukumi sebagai Muslim walaupun di sana hanya ada satu orang Muslim karena adanya kemungkinan anak itu adalah anak dari seorang Muslim tersebut, hal ini sebagai pengagungan terhadap Islam. Dan apabila di negeri-negeri tersebut tidak ada satu orang pun Muslim, bahkan seluruh penduduknya adalah dzimmah (orang-orang Kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin), maka anak tersebut dihukumi sebagai Kafir, karena menghukuminya sebagai Muslim adalah apabila ada kemungkinan dia anak dari salah seorang Muslim disana.
Adapun negeri Kafir, maka ada dua macam juga, yaitu ;
Pertama, suatu negeri milik kaum Muslimin lalu dikuasai oleh orang Kafir, seperti As-Saahil (di daerah pesisir), maka keadaan yang ini sama seperti permasalahan sebelumnya. Apabila padanya ada satu orang Muslim, maka anak kecil yang ditemukan di sana dihukumi sebagai Muslim. Dan apabila padanya tidak ada seorang Muslim maka anak kecil temuan itu dihukumi Kafir.
Kedua, suatu negeri yang belum pernah sama sekali dimiliki oleh kaum Muslimin, seperti India dan Romawi. Apabila padanya tidak ada satu pun yang Muslim, maka anak kecil yang ditemukan di sana dihukumi sebagai Kafir karena negeri tersebut milik orang-orang kafir dan penduduknya pun orang-orang kafir.” [Al Mughniy 6/35].
Dan sebagaimana diantara para ulama mazhab Hanbali pun ada yang mengungkapkannya dengan suatu kosekwensi dari konsekwensi-konsekwensi tolak ukur di atas; yakni dengan hukum-hukum yang mendominasi, dan ini merupakan bukti yang cukup sebagai tolak ukur kemenangan dan kekuasaan di suatu negeri.
Abu Ya’la Al Hambali berkata :
“setiap negeri yang padanya didominasi dengan hukum-hukum Islam tanpa hukum Kufur maka negeri tersebut adalah negeri Islam, dan negeri mana pun yang padanya didominasi oleh hukum Kufur tanpa hukum Islam maka negeri itu adalah negeri Kafir.” [Al Mu’tamad fii Ushuulud diin, 267].
Ibnu Muflih berkata :
“… setiap negeri yang padanya didominasi oleh hukum-hukum kaum Muslimin maka negeri itu merupakan negeri Islam, dan apabila yang mendominasi padanya adalah hukum-hukum Kufur maka negeri itu merupakan negeri Kafir, dan tidak ada lagi status negeri lain selain dari kedua macam negeri tersebut.” [Al Aadaab Asy Syar’iyyah 1/212].
===========
Diterjemahkan dari: Atsarul Qawaaniin Al Wadh’iyyah fi. Al Hukmi ‘ala ad Daari bii Al Kufri wa Al Islaami, Karya: Syaikh Khalid bin Ali Al Anbari
Penerjemah: Mochammad Hilman Alfiqhy