Apabila seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau menyepi berduaan dengannya, maka si istri wajib beriddah selama tiga kali haid secara sempurna; bila ia termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini berdasarkan pada firman Allah.
{ وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ } [ البقرة ، الآية : 228 ]
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” [Al-Baqarah/2: 228]
Tiga kali Quru’ artinya tiga kali haid. Tetapi jika si istri dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan, sama saja masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah:
{ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ } [ الطلاق ، الآية : 4 ] .
“..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…” [Ath-Thalaaq/65: 4]
Apabila si istri termasuk wanita yang tidak haid; karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali: maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
{ وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ } [ الطلاق ، الآية : 4 ]
“Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid ..” [At-Thalaaq/65 : 4]
Apabila si isteri termasuk wanita-wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas, seperti: sakit atau menyusui; maka ia tetap dianggap dalam masa iddahnya sekalipun masa iddahnya lama sampai ia kembali haid dan menghitung masa iddahnya dengan haid tersebut.
Namun jika sebab itu (yakni: sakit atau menyusui) sudah tidak ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui; sementara haidnya tak kunjung datang, maka masa iddahnya adalah satu tahun penuh terhitung mulai dari ketika tidak adanya sebab tersebut. Inilah pedapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar’iyah. Karena; jika sebab tersebut sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas, maka masa iddahnya adalah satu tahun penuh; dengan perhitungan: sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil; karena hal itu merupakan masa kehamilan pada umumnya, dan ditambah tiga bulan untuk masa iddahnya.
Adapun apabila talak terjadi setelah akad nikah sedangkan sang suami belum mencampuri dan menyepi berduaan dengan isterinya, maka dalam hal ini tidak ada masa iddah sama sekali (bagi si istri), baik yang perhitungan iddahnya dengan haid maupun yang lainnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai prang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta menyempurnakannya …” [Al-Ahzaab/33: 49]
Diterjemahkan dari: (Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin-Nisa’. Karya: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin -rahimahullah-, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 38 – 44 terbitan Darul Haq)
Waallaahu A’lam