Bahkan Hamba Sahaya Pun Tahu Jawabannya!

Betapa pentingnya masalah akidah sehingga dahulu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- #mendidik para Sahabatnya sampai akhirnya mereka pun sangat memahami Islam dengan sebenar-benarnya. Sehingga tatkala Beliau bertanya kepada seorang hamba sahaya tentang salah satu akidah salafiyah yang sangat mendasar dan penting, yaitu pertanyaan “#Dimanakah_Allah?”, maka hamba sahaya tersebut bisa menjawab dengan jawaban yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya.
Dikisahkan oleh Mu’awiyyah bin Al Hakam As sulamiy -radhiallahu ‘anhu- bahwasannya ia memiliki hamba sahaya/budak perempuan yang dia suruh untuk menggembala domba-domba miliknya. Tetapi pada suatu hari dia mengetahui bahwa salah satu dombanya yang sedang digembala hamba sahaya itu dimangsa serigala maka dia marah dan memukul hamba sahayanya itu, tetapi dia pun menyesal dan datang kepada Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan menceritakan pengalamannya itu lalu dia pun berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tidakkah ku merdekakan saja budakku itu?” beliau pun menjawab: “Panggillah dulu budakmu itu!” Maka dia memanggilnya lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada hamba sahaya itu:
أَيْنَ الله؟
“Dimanakah Allah?”
Maka dia menjawab: “Di langit.” Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lanjut bertanya: “Dan siapakah Aku ini?” Maka budak itu menjawab: ” Engkau adalah Rasulullah (utusan Allah).” Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أعطقها فإنها مؤمنة!
“Merdekakanlah ia; karena ia seseungguhnya seorang wanita yang beriman!”
(HR. Muslim no. 537, dan Ahmad 5/447)
Pertanyaan tersebut diajukkan karena menyangkut akidah yang sangat mendasar dan mudah difahami, sehingga seorang penggembala di zaman Nabi yang tentunya kesibukannya bukan dalam hal ilmu pun mampu memahaminya. Dan tersebarnya dasar penting akidah tersebut di suatu masyarakat bahkan sampai orang-orang yang sangat awam pun memahaminya, menjadi bukti yang menunjukkan bahwa proses #Tashfiyah (pemurnian pemahaman ajaran Islam dari kesesatan) dan #Tarbiyah (pendidikan Islam) di masyarakat tersebut begitu gencar digalakkan. Maka, akidah inilah yang tersebar luas di masyarakat Islam di masa Kenabian! Oleh karena itu, mereka akhirnya diberkati oleh Allah sehingga mampu menaklukkan dunia dan memimpin umat manusia di masanya.
Dalam kisah tersebut pun dapat kita fahami bahwasannya beliau tidak memprioritaskan pembahasan penerapan hukum Syari’at di suatu negeri, namun justru beliau memprioritaskan masalah akidah istiwa (bersemayam) Allah di langit karena hal ini berkaitan dengan hak Allah, yaitu Tauhid, dan inilah akidah Salafiyyah!
Oleh karena itu, tatkala ada suatu perjuangan dakwah yang hanya menekankan dan memprioritaskan hal lain selain Tauhid, maka itu merupakan indikasi bahwa dalam perjuangan tersebut terdapat penyimpangan. Karena dari zaman dahulu, dakwah seluruh para Nabi tatkala berdakwah kepada kaum mereka adalah dengan memprioritaskan dakwah Tauhid:
….اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ….
Artinya: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya…” QS. Al A’raf: 59
Para Nabi -‘Alaihimush Shalaatu was Salaam- lebih mendahulukan berdakwah memberantas kesyirikan ibadah daripada berdakwah memberantas kesyirikan sistem kekuasaan! Oleh karena itulah al-Imaamah (Kekuasaan) bukan termasuk pokok/rukun iman.
========
Diringkas dari penjelesan Syaikh Abdul Malik Ramadhani -hafizhahullah- dalam kitab: Sittu Durar, Pembahasan Prinsip ke 6.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: