Fondasi Ilmu Syar’i Sebelum Penjurusan bakat, dalam Pendidikan Islam

Allah memiliki sifat yang Maha Terpuji dan Maha Bijaksana, tentu Dia tidak akan berbuat kesia-siaan sehingga pasti seluruh ciptaan-Nya diciptakan bukan karena “iseng”, bukan pula karena main-main belaka yang tanpa tujuan yang jelas. Maka, semua manusia pun pasti tercipta dengan diberi bekal khusus berupa bakat tertentu sebagai bekal dalam kehidupannya sehingga hidupnya tidak akan sia-sia.

Allah ‘Azza wa Jallah, Sang Maha Pencipta telah berfirman:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ مَا خَلَقْنَاهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Ad Dukhan: 39)

Syaikh As Si’di -rahimahullah- menafsirkan bahwa dalam ayat tersebut Allah ta’ala mengabarkan mengenai kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kesempurnaan kebijaksanaan-Nya bahwasanya Dia tidak main-main dalam menciptakan langit dan  bumi ini, tidak hanya gurauan dan tidak pula sia-sia yang tanpa mengandung faedah sama sekali! Akan tetapi Dia telah menciptakan langit dan bumi ini dengan kebenaran.[1]

Berdasarkan ayat-ayat mulia di atas, menjadi sangat jelaslah apa tujuan dari pernciptaan manusia sehingga tidak ada satupun manusia yang tercipta dengan sia-sia atau tanpa tujuan sama sekali. Sesungguhnya jiwa manusia akan semakin semangat dalam menjalani kehidupan tatkala menyadari bahwa ia hidup dengan membawa tujuan yang jelas, dan sebaliknya, jiwa manusia selalu dirundung kehampaan tatkala merasa hidupnya sia-sia dan tidak berarti sehingga pada sebagian keadaan sampai ada yang tega membunuh dirinya sendiri akibat merasakan kehampaan hidup.

Sedangkan orang yang jiwanya hampa karena tidak jelas tujuan hidupnya yang kemudian selalu berputus asa, merupakan sifat yang biasa terdapat pada jiwa orang-orang sesat, kafir, serta musyrik. Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (١٢٤)

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”. (QS. Thaha: 124).

Oleh karena itu, orang yang beriman akan mendapatkan ‘Izzah (kemuliaan), dan tidak akan berkecil hati atau putus asa, karena Allah Ta’ala telah menetapkan:

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ (٨)

“…Kemuliaan (’Izzah) itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al Munafiqun: 8)

Sehingga Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk berbahagia atas karunia dan rahmat Allah terhadap mereka:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٥٨)

“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira!’ Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus: 58).

Syaikh Abdurrahman As Sa’diy –rahimahullah- ketika menafsirkan Surat Yunus ayat 58 tersebut menjelaskan bahwa maksud ‘karunia Allah’ itu adalah Al Qur’an, sedangkan maksud ‘Rahmat-Nya’ adalah Agama Islam dan Iman, serta beribadah kepada Allah; mencintaiNya, dan mengenal-Nya. Kemudian Syaikh As Sa’diy pun berkata:

“…hanya saja Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berbahagia terhadap karunia dan rahmat-Nya adalah karena hal itu termasuk yang akan melapangkan jiwa serta menjadikannya bersemangat dan bersyukur kepada Allah, dan menyebabkan kuatnya jiwa serta menumbuhkan rasa suka terhadap ilmu dan Iman sehingga memotivasinya untuk selalu berusaha menambah ilmu dan Iman tersebut…”[2] Dan demikian juga Allah Ta’ala menegaskan bahwa:

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 139)

 

SELURUH MANUSIA DICIPTAKAN DENGAN MEMILIKI TUJUAN YANG SESUAI DENGAN KEMAMPUAN MANUSIA

Dalam hal hubungan antara makhluk dan ciptaanya, Hikmah dan Tujuan pokok penciptaan manusia adalah untuk beribadah dan menyembah Allah ‘Azza wa Jalla.

Sebagaimana yang telah Allah tetapkan dalam firmanNya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

para ulama menafsirkan kata: “beribadah kepadaKu” dalam ayat di atas adalah “mentauhidkanKu.”, kemudian Syaikh Al Utsaimin –rahimahullah– menjelaskan bahwanya hal itu karena Tauhid merupakan bagian dari makna Ibadah, namun maksud ayat tersebut dimutlakkan kepada Ibadah apapun secara umum, bukan hanya bermakna Tauhid saja.[3]

Adapun makna Ibadah secara umum adalah: Suatu nama yang mencakup apa-apa yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik itu berupa perkataan, perbuatan lahir (zahir) maupun bathin. [4]

Adapun mengenai tugas dan peran manusia sebagai hamba Allah dalam memakmurkan bumi ini. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman:

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا

“…dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian pemakmurnya…” (QS. Hud: 61).

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– dalam kitab tafsirnya tatkala menafsirkan ayat tersebut menjelaskan bahwa: “Allah telah menjadikan kalian sebagai para pemakmur bumi yang akan memakmurkan dan memanfaatkan bumi.” [5]

Tatkala Allah ‘Azza wa Jalla memberikan tugas kepada manusia untuk memakmurkan bumi ini, maka tentunya Dia pun memberikan bekal kemampuan yang cukup kepada manusia agar bisa menunaikan tugasnya itu, tidak mungkin Allah membiarkan manusia begitu saja tanpa diberi memampuan untuk menjalani dan menunaikan tugas kehidupan di muka bumi, karena tidaklah Allah memberikan beban tugas kepada hamba-hambaNya melainkan sesuai dengan kesanggupan mereka, sebagaimana Allah telah berfirman:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (٧)

“….Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai (kemampuan) yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At Thalaq: 7).

Bumi ini mengandung berbagai macam sumber daya yang tidak mudah untuk dimanfaatkan sehingga menghasilkan kemakmuran bersama kecuali oleh ahlinya. Misalnya, barang tambang tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh para ahli tambang, lahan pertanian tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh ahli pertanian, lautan tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh ahli kelautan, demikian juga dalam hal perekonomian, menjaga keamanan, dan seterusnya. Bidang-bidang keahlian tersebut apabila hendak dipelajari oleh seseorang sehingga menjadi ahli dalam memanfaatkannya maka harus benar-benar meneliti dengan penuh antusias, sedangkan seseorang akan terpacu antusiasnya dalam meneliti dan mempelajari sesuatu bila disertai dengan adanya kemampuan atau potensi bakat. Maka dari itulah, hal ini membutuhkan minat dan bakat.

Karena bidang-bidang yang harus ditunaikan dalam rangka memakmurkan bumi ini bermacam-macam maka Allah pun memberikan kemampuan yang berbeda-beda kepada setiap manusia antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dengan itu bisa saling melengkapi.  Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلاً

“….Katakan (Muhammad) bahwa setiap orang akan berbuat sesuai pembawaannya masing-masing, maka Robbmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al Isra’ : 84)

Sebagian ulama, seperti imam Mujahid menafsirkan kalimat ayat di atas yang artinya: “sesuai pembawaannya masing-masing” maksudnya adalah :   عَلَى حِدَّتِهِ وَطَبِيعَتِهِ yakni: Sesuai Dengan Keahliannya Dan Tabi’atnya.[6]

Allah ‘Azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ .

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Syaikh As-Sa’diy -rahimahullah- menjelaskan bahwa Allah menciptakan banyak laki-laki dan perempuan, Dia pun membagi mereka menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, baik yang jumlahnya sedikit maupun banyak, yang dengan hal tersebut menjadi sebab mereka saling mengenal karena apabila mereka saling menyendiri; egois; hanya mengandalkan diri sendiri, maka tidak akan terjadi saling mengenal yang menyebabkan adanya saling menguatkan, saling tolong menolong, saling mewariskan, dan saling menjaga hak kerabat di antara mereka. Demikianlah Allah Ta’ala menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar tercapainya segala kemaslahatan tersebut yang hanya dapat diraih melalui saling mengenal dan saling mempertemukan kesatuan nasab. Akan tetapi, kemuliaan mereka tergantung pada ketakwaan. Maka, Orang yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah Ta’ala adalah yang paling bertakwa kepada-Nya.[7]

Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwasanya Dia telah menetapkan pemberian yang berbeda-beda tingkatannya terhadap makhluk-Nya, baik itu berupa harta, akal, pemahaman, dan juga kekuatan zahir lainnya. Sebagaimana Dia berfirman:

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَاۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّاۗ

“….Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain…” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Maksudnya adalah agar sebagian mereka dapat saling memberikan manfaat pada sebagian yang lainnya dalam hal pekerjaan karena saling membutuhkan ini dan itu.[8]

Karenanya, perbadaan anekaragam kemampuan atau potensi bakat bawaan manusia itu tidak bisa dipungkiri lagi adanya, bahkan fakta mengenai potensi bakat manusia yang berbeda-beda tersebut telah disadari oleh para ulama dari dahulu, sehingga dalam hal pendidikan, dahulu metode pendidikan terhadap kaum muslimin selalu disesuaikan dengan potensi bakat mereka masing-masing.

 

PENJURUSAN BAKAT MERUPAKAN BAGIAN DARI KONSEP DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Sebagian orang mengira bahwa perhatian terhadap urgensi penjurusan bakat anak-anak didik merupakan ide zaman sekarang setelah berkembangnya ilmu psikologi!? Padahal faktanya, Justru penjurusan tersebut telah dikenal dan diaplikasikan oleh kaum muslimin pada metode pendidikan mereka dari dahulu kala. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Al Zarnuji (w. 591 H) dalam Talim Muta’allim, Imam Syathibi (w. 790 H), dan Ibnul Jama’ah (w. 733 H). Demikian pula Ibnul Jauzi (w. 597 H) telah menjelaskan tentang pentingnya mempersiapkan kesiapan fitrah (isti’daadul fithriy) para peserta didik dalam proses pendidikannya. Dan para ahli pendidikan Islam dari dahulu memandang bahwa penjurusan bakat tersebut diterapkan setelah para anak didik melewati tahapan awal pendidikan, yakni setelah belajar dasar-dasar penting dari setiap cabang-cabang ilmu penting seperti membaca, menulis, dan matematika, dsb. Kemudian setelah itu mulailah dijuruskan sesuai dengan potensi bakatnya masing-masing. Pandangan tersebut pun sesuai dengan pandangan yang disepakati para ahli pendidikan modern zaman sekarang.[9]

Ibnu Jama’ah –rahimahullah-  berkata:

وإذا علم أن تلميذا لا يفلح في فنّ أشار عليه بتركه والانتقال إلى  غيره مما يرجى فيه فلاحه

“Apabila seorang murid diketahui tidak akan berhasil di cabang ilmu tertentu maka berilah ia isyarat untuk meninggalkan cabang ilmu tersebut dan pindahkan ia ke cabang ilmu yang lainnya yang bisa lebih bisa diharapkan kesuksesan baginya.”[10]

Itu karena suatu metode pendidikan apabila tidak sesuai dengan minat dan bakat maka akan gagal! Akan tetapi, suatu potensi bakat pun apabila tidak dibangun di atas pendidikan agama yang benar maka malah akan menjadi berbahaya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah-, ia berkata:

“Diantara yang seharusnya ditekankan (dalam pendidikan Anak) adalah mengenai keadaan anak dan kesiapan diri anak serta penyesuaian anak untuk menghadapi pekerjaannya kelak, maka dari itu anak diajari (tentang suatu keahlian) yang memang ia diciptakan dengan kemampuan (bakat) tersebut, namun jangan pula mengarahkan anak pada sesuatu yang tidak dibolehkan oleh Syari’at.

Maka apabila sang anak dibawa kepada sesuatu yang bukan (bakatnya) yang telah disiapkan untuknya maka ia tidak akan berhasil padanya dan terluputlah suatu (bakat) yang seharusnya ia disiapkan padanya!

Apabila sang anak terlihat bagus (cerdas) dalam pemahaman, tepat dalam berfikir, bagus dalam hafalan dan ia pun faham, maka hal tersebut merupakan tanda-tanda bahwa ia mampu menerima dan siap menjadi ahli ilmu. Maka ukirlah ilmu dalam lembaran hatinya selama masih kosong (dari kesibukan lainnya), karena hal itu akan menguat di hatinya dan menetap serta akan berkembang.

Apabila sang anak (bakatnya) tidak terlihat seperti itu dari berbagai sudut pandangnya, tetapi ia siap (berbakat) untuk menjadi ahli berkuda dan hal-hal yang mendukungnya dalam berkuda, menembak, memainkan tombak, dan ia tidak cocok dalam hal ilmu, serta ia tidak tercipta (dengan bakat) untuk menjadi ahli ilmu, maka kuatkanlah ia dalam hal-hal yang mendukungnya untuk menjadi ahli berkuda dan latihlah ia dalam hal tersebut, karena hal itulah yang akan bermanfaat bagianya dan (ia pun akan bermanfaat nantinya) bagi kaum muslimin.

Apabila sang anak tidak terlihat seperti itu, yakni ia tidak tercipta (dengan bakat) untuk hal tersebut, tetapi matanya begitu terbuka (sangat tertarik) kepada (pekerjaan) memproduksi; dan ia siap (berbakat) untuk hal itu, serta ia cocok dengan hal itu, sedangkan produksinya itu adalah hal yang mubah/bukan haram dan bermanfaat bagi manusia, maka kuatkanlah (fasilitasilah) ia di dalam hal tersebut!

Akan tetapi, itu semua adalah setelah sang anak diajari perkara yang ia butuhkan mengenai agamanya! Karena perkara agama Islam tersebut adalah perkara yang bisa dipelajari oleh semua orang, sehingga hujjah Allah ditegakkan kepada hambanya karena Allah memiliki hujjah yang nyata yang harus ditegakkan kepada hambaNya, sebagaimana Dia pun memiliki nikmat yang sempurna terhadap hambaNya. Wallahu A’lam.”–selesai nukilan terjemahan-[11]

 

Berbagai Hukum Mempelajari suatu Ilmu

Pembagian macam-macam ilmu Syar’i ditinjau dari hukum mempelajarinya sangat penting difahami agar bisa memilih ilmu manakah yang harus diprioritaskan untuk dipelajari, dan agar sebagian kaum muslimin yang tidak berbakat dalam mendalami ilmu agama dapat mengetahui ilmu syar’i yang manakah yang tetap harus dipelajari walaupun profesinya bukan sebagai ulama atau ahli agama.

Imam Nawawi –rahimahullah- menjelaskan:

Yang pertama adalah fardhu ‘ain, yaitu seorang mukallaf (baligh dan berakal sehat) mempelajari ilmu yang ia tidak bisa memenuhi kewajibannya kecuali dengan mengetahuinya, seperti tata cara wudhu`, shalat, dan yang selain keduanya. Sekelompok ulama membawakan kepada makna ini (ilmu fardhu ‘ain) dalam menafsirkan sebuah Hadits yang diriwayatkan di musnad Abu Ya’la Al-Mushili dari Anas dari Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam-: ‘Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.’

Jenis Ilmu yang kedua adalah ilmu Fardu Kifayah, yaitu ilmu yang harus ada sebagian umat manusia yang mempelajarinya demi tegaknya agama mereka, dari ilmu-ilmu Syari’at, seperti : menghafal Alquran, Hadits dan ilmu Hadits, ilmu Ushul, Fikih, Nahwu, Bahasa Arab, Shorof, ilmu perowi Hadits, Ijma’ dan perselisihan Ulama.

Dan adapun ilmu yang bukan ilmu Syari’at, namun dibutuhkan untuk tegaknya urusan dunia, seperti kedokteran dan matematika, maka ini pun termasuk ilmu Fardhu Kifayah juga.

Jenis ilmu yang ketiga adalah yang Nafilah (Sunah), yaitu seperti fokus mempelajari ilmu Ushul terhadap dalil-dalil, dan belajar lebih jauh tentang ilmu-ilmu yang hukumnya fardhu kifayah, dan orang awam yang belajar tata cara ibadah yang hukumnya sunnah (tidak wajib) untuk mengamalkannya; ini bukan seperti apa yang dilakukan oleh para ulama yang meneliti dalil-dalil untuk memilah manakah hukum yang wajib dan yang sunnah karena meneliti dalil-dalil tersebut hukumnya fardhu Kifayah bagi para ulama tersebut.” selesai nukilan –[12]

 

Para Sahabat Nabi dahulu memiliki kelebihan dan keistimewaan yang berbeda-beda, diantara mereka ada yang di juluki Saifullah (pedang Allah) yaitu Khalid bin Walid; Kaatibu Rasuulillaah (Juru tulis Rasulullah) Mu’awiyyah bin Abi Sufyan , Shaahibus Sirr (Yang tahu kabar rahasia Rasulullah) yaitu Hudzaifah bin Al Yaman; A’lamu bil haraam wal haraam (Yang paling tahu perkara halal dan haram) yaitu Mu’adz bin Jabal; Amiinu hadzihil ummah (Orang terpercaya di kalangan umat Rasulullah) yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah; Habrul Ummah (Ulama umat Rasulullah) yaitu Ibnu Abbas, Syaa’ir Rasul (penya’ir Rasulullah) yaitu Hassan bin Tsabit, –radhiallahu ‘anhum jamii’an-, dan julukan-julukan lainya yang memang diberikan langsung oleh Rasulullah kepada para sahabat beliau. Misalnya seperti sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

إن لكل أمة أمينا وإن أميننا أيتها الأمة أبو عبيدة بن الجراح

“Setiap umat memiliki kepercayaan (Amiin) sedangkan orang terpercaya diantara kita, wahai umat Islam, adalah Abu Ubaidah bin Al Jarrah.”(HR. Muslim)

Akan tetapi, walaupun pada faktanya, para sahabat Rasul memiliki peran dan kesibukan perjuangan yang berbeda-beda, namun ternyata mereka pun tetap mempelajari pokok-pokok penting ilmu Syar’i. Berikut ini ada suatu riwayat yang menunjukan kepada hal tersebut.

Abu Shalih Al Asy’ari –rahimahullah– mengabarkan bahwa Abu Abdillah Al Asy’ari –radhiallahu ‘anhu– berkata:

“Rasulullah shalat dengan para sahabatnya kemudian beliau duduk di sekumpulan mereka, lalu datanglah seorang laki-laki, lalu ia pun shalat lalu ia ruku’ dan sujud seperti gagak mematuk dengan cepat! Maka Rasulullah  -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 

أترون هذا ، من مات على هذا مات على غير ملة محمد ، ينقر صلاته كما ينقر الغراب الدم ، إنما مثل الذي يركع وينقر في سجوده كالجائع لا يأكل إلا التمرة والتمرتين ، فماذا تغنيان عنه ، فأسبغوا الوضوء ، ويل للأعقاب من النار ، أتموا الركوع والسجود

 

Tidakkah kalian melihat orang ini!? Barang siapa yang mati dalam keadaan shalatnya seperti orang ini maka matinya tidak sedang dalam ajaran Nabi Muhammad! Karena orang ini gerakan shalatnya cepat bagaikan burung gagak yang mematuk darah (makanannya)! Orang yang gerakan ruku dan sujud shalatnya seperti gagak yang mematuk makanan maka permisalannya bagaikan orang yang kelaparan lalu memakan satu atau dua biji kurma, tentu tidak akan mengenyangkannya. Maka, baguskanlah wudhu kalian! Celakalah karena ancaman api neraka bagi tumit kaki yang tidak terbasuh air wudhu! Dan sempurnakanlah ruku dan sujud kalian!

 

Abu Shalih bertanya kepada Abu Abdillah Al Asy’ari: ‘Siapakah yang mengabarkan riwayat hadits tersebut kepadamu?’ maka Abu Abdillah menjawab: ‘Yang mengabarkannya adalah para penglima pasukan perang, yaitu: Amru bin Ash, Khalid bin Walid, Yazid bin Abi Sufyan, Syarahbil bin Hasnah, mereka semua mendengar hadits tersebut dari Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.[13]

 

Riwayat hadits tersebut mengisyaratkan bahwasannya walaupun ada sebagian sahabat Nabi yang memiliki  potensi dan kesibukan sebagai panglima militer, tetapi mereka tetap mengetahui dan mempelajari hadits Nabi tentang ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh seluruh muslim, seperti tata cara shalat yang benar.

 

Wallahu A’lam

===========

Disusun oleh: Mochammad Hilman Al Fiqhy

Cimahi, Kamis 17 Jumadil Akhir 1446 H / 19 Desember 2024 M

[1] Taisiru Kariim Ar Rahmaan

[2]  Taisiirul Kariim Ar Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan

[3]   Syarhu Tsalaatsah Al Ushuul, hlm. 38

[4]   Syarhu Tsalaatsah Al Ushuul, hlm. 37

[5]   Tafsiirul Qur-aan Al Azhiim

[6]  Tafsir Al Quraan Al Azhiim.

[7] Taisiirul Kariim Ar Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan

[8]  Lihat tafsir Ibnu Katsir

[9]  At Tarbiyyah ‘abra Taariikh. hlm. 189-193

[10] Tazdkiratus Saami’, hal. 57

[11]  Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud, hlm. 353-354)

[12] Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab,An-Nawawi, hlm. 51 [Pdf, Waqfeya.com]).

[13] HR. Ibnu Khuzaimah no. 665, dihasankan Al-Albani.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: