Generasi yang diistilahkan dengan As-Salaf Ash-Shalih, maka mereka itu terbatas hanya pada tiga generasi yang telah direkomendasikan kebaikannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana dalam sabda beliau,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (para Sahabat), kemudian generasi yang setelahnya, kemudian generasi yang setelahnya. Kemudian akan datang suatu kaum yang mana persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya pun mendahului persaksiannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kaum Muslimin diwajibkan meneladani mereka dalam hal agama, sebagaimana Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa Sallam- bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kalian dengan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mendengar dan taat, walaupun yang memimpin kalian itu adalah hamba sahaya dari Habasyi. Sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang pada Sunnah-ku dan pada Sunnah para Al Khulafair Raasyidiin Al Mahdiyyiin (para khalifah yang mendapat petunjuk dan hidayah), pegang teguhlah padanya dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan awaslah kalian dari perkara-perkara yang baru (dalam agama) karena setiap perkara yang baru tersebut merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”[1] (H.R. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676)
Perhatikanlah bagaimana Beliau menghadapkan keadaan perpecahan tersebut kepada kewajiban berkomitmen berpegang teguh kepada Sunnah para Sahabat Rasul, agar dapat diketahui bahwasanya komitmen dengan pemahaman Salafush Shalih dalam memahami dan mengamalkan Islam merupakan sebab keselamatan tatkala terjadi perpecahan.
Oleh karena itu, para ulama senantiasa mengingatkan umat pada perkataan Imam Malik bin Anas, Rahimahullah yang sangat bermakna, yaitu,
﴿لا يُصلح آخر هذا الأمر إلا ما أصلح أوّله﴾
“Tidak akan menjadikan baik akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang dahulu telah menjadikan baik generasi awal umat ini.”[2]
Demikian juga dalam hal pendidikan, agar pendidikan kaum Muslimin menjadi baik maka harus meneladani metode pendidikan generasi salaf. Berikut ini sekelumit gambaran pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum salaf, yakni pada generasi sahabat Nabi, generasi Tabi’in (murid-murid sahabat Nabi), dan generasai Tabi’ut Tabi’in (murid-murid dari murudnya para sahabat Nabi)
Pada saat itu kaum muslimin di Makkah adalah minoritas dan keadaan mereka sangat sulit dan selalu ditekan oleh kaum kafir Quraisy. Situasi ini menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan Pendidikan Islam yang layak, meskipun pada saat itu sudah terdapat beberapa kaum muslimin yang terpelajar.[3] Yang demikian dikarenakan sebuah proses Pendidikan yang berkualitas dan maksimal memerlukan kondisi yang tenang serta aman sentosa.
Apakah Pada Generasi Awal Umat Islam Kegiatan Pendidikan Diselenggarakan di rumah atau di sekolah?
Masalah ini penting untuk dibahas karena ada sebagian orang yang tatkala sangat kecewa dan pesimis dengan sistem pendidikan sekolah saat ini, lantas kemudian ia menganggap bahwa sekolah merupakan bentuk pendidikan yang salah dan harus ditinggalkan secara total sehingga pendidikan yang baik menurutnya hanya di rumah atau home schooling? Berikut ini beberapa keterangan dan riwayat dari generasi salaf shalih yang merupakan generasi yang seharusnya kita teladani dalam proses mendidik anak-anak kita.
Kegiatan Belajar Mengajar di Rumah
Memang pada sebagian keluarga, tidak bisa dipungkiri bahwa ada orang tua yang mampu mendidik anak-anaknya di rumah, dan hal itu pernah terjadi di masa Nabi. Suatu ketika Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam– bersabda kepada orang-orang yang datang kepada beliau dan cukup lama belajar kepada beliau:
ارْجِعُوا إلى أهْلِيكُمْ، فأقِيمُوا فيهم وعَلِّمُوهُمْ ومُرُوهُمْ
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian dan didiklah mereka!”[4] (HR. Bukhari)
Atau ada juga orang tua yang karena ada faktor-faktor penting lain yang menyebabkan orang tua tidak sempat mengajar anak-anaknya walaupun mampu, maka ia mendatangkan pengajar ke rumahnya untuk mendidik anak-anaknya. Ini pun pernah terjadi pada sahabat Nabi, yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash –radhiallahu ’anhu– memanggil seorang lelaki dari Iraq untuk mengajarkan Al Quran kepada anak-anaknya dan ia memberikannya upah.[5] Ibn Hajar -rahimahullah- meriwayatkan bahwa Syifa binti Abdullah Al Adawiyyah Al Qurashiyyah adalah salah seorang perempuan pertama yang hijrah, dia diperintahkan oleh Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– untuk mengajarkan baca tulis kepada Hafshah ummul Mu’minin[6].
Akan tetapi, tatkala berdiri kedaulatan umat Islam di Madinah, maka kebutuhan-kebutuhan fasilitas untuk media dakwah pun semakin besar dan begitu pula kebutuhan fasilitas pengaturan negara semakin banyak. Sehingga hal tersebut menuntut kegigihan yang besar terhadap eksistensi pendidikan yang lebih besar untuk mendidik umat pada umumnya secara lebih masif dan terstruktur sehingga mampu menjadi generasi yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pendidikan seperti itu tentu tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pendidikan keluarga masing-masing semisal home schooling, karena telah dimaklumi bersama bahwa tidak semua keluarga memiliki kemampuan yang layak dalam mendidik.
Kegiatan Belajar Mengajar secara bersama-sama atau di sekolah
Proyek pertama yang dibangun oleh Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam– tatkala sampai ke Madinah adalah membangun masjid Nabawi, yang akan menampung proyek besar untuk proses pendidikan umat, kemudian didirikan pula delapan masjid lainnya di wilayah lainnya. Di masjid-masjid itulah manusia berkumpul untuk melaksanakan shalat wajib 5 kali sehari, dan dilaksanakannya majlis-majlis ilmu, dan kegiatan-kegiatan penting lainnya. Bergitulah peran penting masjid yang berlanjut secara turun temurun. Di pinggiran masjid kota Madinah terdapat pula markaz pendidikan lainnya,
Ubadah bin Shamit –radhiallahu anhu– pernah berkisah:
علمت ناساً من أهل الصفة الكتابة والقرآن
“Aku telah mengajarkan menulis dan Al Quran kepada orang-orang yang tinggal di Shuffah.”[7]
Di samping masjid Nabawi, didirikan pula tempat-tempat lain untuk pembelajaran di kota Madinah, sebagaimana yang diisyaratkan dalam pernyataan Ibnu Mas’ud –radhiallahu anhu-, ia berkata:
قرأت من في رسول الله صلى الله عليه وسلم سبعين سورة وزيد بن ثابت له ذؤابة في الكُتَّاب
“Aku telah membaca tujuh puluh surat Al Quran, langsung dari mulut mulia Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan Zaid bin Tsabit, yang saat itu memiliki (dzu-abah) jambul di kepalanya, masih di Kuttab.”[8]
Demikian juga Anas bin Malik –radhiallahu anhu- telah mengabarkan adanya Kuttab dan Mu’addib (pengajarnya) di masa Khulafah Rasyidin.[9]
Kuttab adalah suatu tempat yang khusus menampung anak-anak untuk dididik baca tulis Al Quran serta menghafalnya, dan diajarkan juga dasar-dasar ilmu lainnya. Pada zaman sekarang, sama seperti madrasah Ibtidaiyah atau sekolah dasar.
Pendidikan Adab dan Tahfizh Quran pada Kurikulum Pendidikan Anak-anak di Masa Salafush Shalih
Pendidikan anak-anak di masa generasi Salaf memang menekankan mengajarkan Adab, sebagaimana yang dinukil dari Ibnul Mubarok –rahimahullah- berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين وكانوا يطلبون الأدب قبل العلم
“Kami telah mempelajari adab selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun. Mereka (kaum Salaf) mempelajari adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu.”[10]
Mempelajari adab sebelum ilmu bukan berarti meninggalkan mempelajari ilmu yang lain demi memfokuskan pada adab. Akan tetapi, yang dimaksud adalah penekanan mempelajari adab tatkala mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Hal tersebut tergambarkan pada riwayat berikut ini:
Dikatakan kepada Anas bin Malik –radhiallahu ‘anhu-: Bagaimanakah keadaan para Mu’addib (pengajar) dahulu pada masa khalifah Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali –radhiallahu ‘anhum-? Maka Anas berkata:
كان المؤدب له أجانة، وكل صبي يأتي كل يوم بنوبته ماء طاهراً، فيصبونه فيها، فيمحون به ألواحهم. قال أنس: ثم يحفرون حفرة في الأرض، فيصبون ذلك الماء فيها فينشف. قلت: أفترى أن يلعط؟ قال: لا بأس به، ولا يمسح بالرجل، ويمسح بالمنديل وما أشبهه. قلت: فما ترى فيما يكتب الصبيان في الكتاب من المسائل؟ قال: أما ما كان من ذكر الله فلا يمحوه برجله، ولا بأس أن يمحو غير ذلك مما ليس في القرآن”.
“Dahulu seorang Mu’addib (pengajar) memiliki suatu wadah (untuk diisi air), dan setiap anak didik akan datang tiap hari sesuai gilirannya dengan membawa air bersih lalu menuangkannya ke wadah tersebut. Anak-anak tersebut akan menggunakan air itu untuk menghapus papan-papan tulis kecil milik mereka.” Anas berkata: “kemudian mereka akan menggali tanah lalu membuang air tersebut ke dalam galian tersebut sehingga mengering.” Penanya bertanya lagi; “Bagaimana menurutmu bila tintanya belepotan ke tangan?” Anas menjawab: “Tidak apa-apa, tetapi jangan menghapusnya dengan kaki, hapuslah dengan saputangan atau yang sebagainya!” Lalu Anas bin Malik ditanya lagi: “Bagaimana menurutmu mengenai apa-apa yang ditulis oleh anak-anak didik di Kuttab yang berupa permasalahan ilmiah?” Maka Anas berkata: “Adapun jika ada yang berupa penyebutan lafazh Allah maka jangan dihapus dengan kaki, tetapi tidak apa-apa jika untuk menghapus hal-hal lainnya yang selain Al Quran.” –selesai nukilan-[11]
Pada riwayat tersebut menunjukan adanya penekanan pendidikan adab kepada anak-anak didik terhadap tulisan ayat-ayat Al Quran tatkala mereka belajar ilmu di Kuttab. Pada saat itulah, pendidikan adab dan ilmu terjadi bersamaan.
Metode seperti itu pun begitu tersebar pada generasi Salafush Shalih, sebagaimana yang terjadi pada kisah salah seorang tabi’ut Taabi’in, yaitu Imam Malik –rahimahullahu-, ia berkisah:
قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه.
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk mencatat ilmu.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah! Pakailah pakaian (untuk menuntut) ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk mencatat ilmu itu!’ Ibuku juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum kau pelajari ilmunya!’.”[12]
Akan tetapi, terdapat banyak riwayat bahwa pada masa para Sahabat Nabi pun pendidikan anak-anak biasa diselenggarakan di Kuttab, diantaranya riwayat berikut ini:
غياث ابن أبي شبيب قَالَ: كان سفيان بن وهب صاحب النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يمر بنا ونحن غلمة بالقيروان فيسلم علينا، ونحن في الكتاب، وعليه عمامة قد أرخاها من خلفه
Giyats bin Abi Syabiib berkata: “Dahulu Sufyan bin Wahb , salah seorang sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, melewati kami yang pada saat itu kami masih anak-anak di kota Qairawan. Lalu beliau mengucapkan salam kepada kami yang sedang (belajar) di Kuttab, dan beliau memakai Imamah yang dijuntaikan ke arah belakangnya.”[13]
Oleh karena itu, dahulu Saya (penulis) bertanya kepada Syaikh Ali bin Hasan AL Halabi –hafizhahullah– mengenai maksud dari metode pendidikan ulama Salaf bahwasannya dahulu mereka menyatakan: “Kami mempelajari Adab 30 tahun lalu setelah itu mempelajari ilmu…” Bagaimanakah gambarannya? padahal pada faktanya ada pelajaran hafalan Quran pada setiap kurikulum pendidikan anak-anak sejak zaman Salaf?
Maka Syaikh Ali –hafizhahullah– menjelaskan:
Bahwa adab itu tentu ada kaitannya dengan ilmu. Perkataan ulama Salaf yang menyatakan bahwa mereka mempelajari Adab dahulu kemudian mempelajari ilmu, maknanya adalah seperti ucapan: ‘kami mempelajari cabang-cabang ilmu secara umum kemudian kami belajar takhashshush (fokus/konsentrasi) pada ilmu tertentu.’
Jadi, maksud para ulama Salaf bahwa dahulu mereka mempelajari adab sebelum ilmu adalah seorang guru mengajarkan masalah adab dan akhlak dalam tatacara ibadah kepada Allah, tatacara membuka kitab hadits-hadits, dsb, dengan melalui metode pendidikan (baca: uslub tarbawi). Yakni sama sebagaimana kita mengenal ada tahapan pendidikan mata pelajaran pada jenjang SMA, kemudian menjadi lebih spesifik lagi pelajarannya di jenjang Kuliahan, kemudian di Magister, Doktoral. dst. -selesai-
Anak-anak Harus Diajarkan Kisah Kehebatan Para Pejuang Islam Sebagaimana Mereka Diajarkan Al-Quran
Kurikulum yang tidak lepas dari pendidikan anak-anak kaum Muslimin generasi Salaf adalah pelajaran Al-Quran. Namun ketahuilah! bahwa disamping mereka diajarkan Al-Quran, ternyata ada suatu pelajaran penting lain yang karena sangat pentingnya maka pelajaran tersebut diajarakan sebagaimana diajarkannya pelajaran Al-Quran!
Zainal ‘Abidin Ali bin Husain bin Ali -rahimahumullah- berkata:
كنا نُعلَّم مغازي النبيّ – صلى الله عليه وسلم – وسراياه، كما نُعَلَّم السورة من القرآن
“Dahulu kami diajari tentang Maghaazi (sejarah kejadian peperangan Rasulullah) dan Saraayaah-nya (sejarah pasukan yang diutus Rasulullah) sebagaimana halnya kami diajari suatu surah Al-Quran.”[14]
Betapa pentingnya pelajaran ilmu sejarah tersebut sehingga ilmu tersebut diajarkan secara turun temurun pada generasi Salaf, dan mereka mewanti-wanti agar menjaga ilmu tersebut.
Cucu dari seorang sahabat Nabi yang mulia, Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiallahu ‘anhu-, yang bernama Ismail bin Muhammad -rahimahullah- berkisah:
كان أبي يعلمنا المغازي، ويعُدّها علينا، وسراياه، ويقول: يا بنيّ هٰذه ماٰثر اٰبائكم، فلا تضيعوا ذكرها
“Dahulu Ayahku mengajarkanku Maghaazi dan Sarayaa; bahkan ia menghitungnya kepada kami, dan Ia mengatakan: ‘Wahai anakku, itu semua merupakan kemuliaan peninggalan bapak-bapak kalian maka janganlah kalian lalai dari menyebut-nyebutnya!”[15]
Pelajaran sejarah peperangan tersebut ternyata akan berimbas pada tumbuhnya pemahaman pada ilmu-ilmu penting lainnya sehingga dengan itu anak-anak akan memiliki bekal dan pijakan pondasi yang kokoh untuk meraih kesuksesan di dunia dan di akhirat.
Az-Zuhri -rahimahullah- menyatakan bahwa:
في علم المغازي علم الآخرة والدّنيا
“Di dalam ilmu Maghaazii (sejarah kejadian peperangan Rasulullah) terdapat ilmu akhirat dan ilmu dunia.”[16]
Begitulah pentingnya pelajaran sejarah yang padanya dikisahkan tentang keteguhan, kehebatan, dan perjuangan orang-orang shalih terdahulu agar menjadi teladan bagi genarasi selanjutnya sehingga mereka memiliki figur yang tepat dan idiola yang nyata yang terbukti telah menorehkan prestasi kemenangan yang gemilang di dunia serta telah mendapat janji kemuliaan di akhirat; maka dengan teladan seperti itulah, hati mereka akan menjadi teguh dalam berjuang menghadapi ujian dalam kehidupan ini.
Oleh karena itu, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun diberi wahyu tentang kisah-kisah para Rasul terdahulu sehingga dengan itulah menjadi salah satu sebab teguhnya hati beliau saat berjuang dalam mendakwahkan Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَۚ
“Dan semua kisah dari Rasul-rasul itu Kami ceritakan kepadamu, yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud: 120)
Tentunya, meneladani dan meniru orang-orang mulia merupakan suatu kemuliaan yang hakiki.
Dari sini, dapat kita sadari bahwa di zaman yang penuh dengan gelombang pengaruh tontonan publik figur yang merusak generasi muslim, maka sudah menjadi keharusan adanya sebagian kaum muslimin yang kreatif yang turut gencar menyaingi dampak buruk tersebut dengan melalui memproduksi tontonan atau bacaan yang berisi konten yang kreatif dan mutakhir serta canggih tentang kisah-kisah kehebatan dan kemuliaan para Nabi dan Rasul serta para pahlawan Islam, tentunya harus dengan bimbingan para ustadz yang bermanhaj Salaf. Karena sangat sukar melarang anak-anak kita apabila tidak disertai dengan solusi yang dapat menjadi pengganti tontonan dan figuritas yang merusak tersebut.
Adapun para orang tua, maka hendaklah mengajarkan atau memfasilitasi dan mengkodisikan anak-anak agar mereka mendapatkan dan akrab dengan kisah-kisah para pejuang Islam, baik itu tentang para Nabi dan Rasul ataupun orang-orang shalih lainnya. Hal itu bisa dengan buku-buku yang menarik, aplikasi yang mendidik, acara tontonan yang Islami, dan lain sebagainya.
Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Al Ruhaili –hafizhahullah– menjelaskan sebagai berikut:
Metode Kaum Salaf, apabila memulai menuntut ilmu sejak masih anak-anak maka mereka memulainya dengan pelajaran menghafal Al Quran , tanpa disibukkan dengan pelajaran-pelajaran lain, kecuali pelajaran yang menunjang pemahaman terhadap makna Al Quran walaupun sederhana. Kemudian setelah selesai tahapan itu, maka mereka beralih kepada mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya.
Adapun untuk orang-orang yang telah dewasa, maka metode kaum Salaf dalam menuntut ilmu adalah menggabungkan antara menghafal Al Quran dan mempelajari berbagai ilmu Syar’i. Oleh karena itu, para Sahabat Nabi ketika menghafal Al Quran, tidak melebihi 10 ayat sampai mereka memahami ilmu yang terdapat pada ayat-ayat tersebut! Inilah yang merupakan metode penggabungan antara menghafal Al Quran sesuai kemampuan dan mempelajari ilmu lainnya.
Orang dewasa itu tidak sama dengan Anak-anak. Karenanya, orang dewasa seharusnya menggabungkan antara menghafal Al Quran dan mempelajari ilmu Syar’i.[17] -selesai ringkasan-
Dalam sistem Pendidikan anak di dunia Islam pada umumnya semenjak bersinarnya cahaya pendidikan serta sejak mulai seriusnya para ulil amri menangani pendidikan umat; terdapat hal yang telah disepakati, yaitu: bahwa adanya eksistensi pendidikan Kuttab dan para guru ahli yang diberi gaji. Keterangan yang otentik menyatakan bahwa kuttab-kuttab tersebar sejak setelah generasi permulaan umat Islam. Dan juga diantara hal yang telah disepakati secara umum dalam pendidikan Islam adalah memulai tahapan pendidikan dengan pelajaran tahfidz Al Quran, membaca dan menulis, dan para pengajarnya apabila memberi hukuman memulai dengan hukuman yang lembut dan tidak langsung dengan kekerasan.[18]
Setelah Anak-Anak menyelesaikan Pendidikan Dasar
Setelah anak-anak melalui proses pendidikan tersebut maka mereka akan di arahkan untuk memperlajari ilmu yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Sebagian orang mengira bahwa perhatian terhadap urgensi penjurusan bakat anak-anak didik merupakan ide zaman sekarang setelah berkembangnya ilmu psikologi!? Padahal faktanya, Justru penjurusan bakat tersebut telah dikenal dan diaplikasikan oleh kaum muslimin pada metode pendidikan mereka dari dahulu kala. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Al Zarnuji (w. 591 H) dalam Talim Muta’allim, Imam Syathibi (w. 790 H), dan Ibnul Jama’ah (w. 733 H). Demikian pula Ibnul Jauzi (w. 597 H) telah menjelaskan tentang pentingnya mempersiapkan kesiapan fitrah (isti’daadul fithriy) para peserta didik dalam proses pendidikannya. Dan para ahli pendidikan Islam dari dahulu memandang bahwa penjurusan bakat tersebut diterapkan setelah para anak didik melewati tahapan pendidikan dasar, yakni: setelah belajar dasar-dasar penting dari setiap cabang-cabang ilmu penting seperti membaca, menulis, dan matematika, dsb. Kemudian setelah itu mulailah dijuruskan sesuai dengan potensi bakatnya masing-masing. Pandangan tersebut pun sesuai dengan pandangan yang disepakati para ahli pendidikan modern zaman sekarang.[19]
Ibnu Jama’ah –rahimahullah– berkata
وإذا علم أن تلميذا لا يفلح في فنّ أشار عليه بتركه والانتقال إلى غيره مما يرجى فيه فلاحه
“Apabila seorang murid diketahui tidak akan berhasil di cabang ilmu tertentu maka berilah ia isyarat untuk meninggalkan cabang ilmu tersebut dan pindahkan ia ke cabang ilmu yang lainnya yang bisa lebih bisa diharapkan kesuksesan baginya.”[20]
Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata:
ومما ينبغي أن يعتمد حال الصبي وما هو مستعد له من الأعمال ومهيأ له
“Diantara yang seharusnya ditekankan (dalam pendidikan Anak) adalah mengenai keadaan anak dan kesiapan diri anak serta penyesuaian anak untuk menghadapi pekerjaannya kelak…”[21]
Akan tetapi, penjurusan minat dan bakat dalam pendidikan itu mulai diterapkannya setelah anak-anak menyelesaikan pendidikan di Kuttab atau di zaman sekarang setingkat sekolah dasar, setelah mendapatkan pendidikan dasar agama yang cukup agar anak-anak kelak memiliki prinsip yang benar dalam menggunakan potensi kemampuan mereka masing-masing agar mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Dahulu Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam– selalu mengapresiasi setiap kelebihan yang dimiliki oleh para sahabat dan bahkan memanfaatkannya sehingga semua sahabat-sahabat Nabi merasa menjadi orang yang berarti di hadapan beliau, tidak ada yang disia-siakan, tidak ada yang berkecil hati karena direndahkan! Semuanya merasa memiliki peran sesuai kapasitas masing-masing dalam perjuangan Islam sehingga mereka benar-benar bersemangat dan tulus dalam berjuang.
Karena sikap yang demikianlah yang telah Allah -Subhanahu wa Ta’ala– ajarkan, sebagimana dalam firman-Nya,
وَلَا تَهِنُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَنتُمُ ٱلۡأَعۡلَوۡنَ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.”( QS. Ali ‘Imran: 139)
Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam– dahulu memotivasi anak-anak untuk berlomba menampakkan kemampuan tersembunyi dan keberanian yang ada pada diri mereka masing-masing. Diantaranya: dengan memberikan pertanyaan kepada para Sahabat yang diantara mereka ada yang telah dewasa dan ada yang masih kecil, dan begitu juga beliau pernah mengajak anak-anak berlomba balapan dengan memberi hadiah bagi pemenangnya.[22]
Dahulu ada seorang anak muda bernama Abu Mahdzurah, saat itu ia belum masuk Islam bahkan membenci syi’ar Islam, semisal adzan! Suatu ketika ia mendengar adzan bersama teman-temannya, lalu ia dan teman-temannya meniru adzan tersebut untuk mempermainkannya dan mengolok-oloknya. Sedangkan Abu Mahdzurah memiliki suara yang paling merdu lalu ia pun mengeraskan suaranya sampai terdengar oleh Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam-. Maka Beliau memerintahkan agar Abu Mahdzurah dibawa ke hadapan beliau. Pada saat itu, Abu Mahdzurah sudah mengira akan dibunuh atas perbuatannya. Akan tetapi, Rasulullah malah mengusap kepala dan dada Abu Mahdzurah lalu beliau mengajarkannya adzan dan memerintahkannya untuk menjadi mu’adzdzin (petugas Adzan) di kota Mekah! Saat itu ia masih berumur 16 tahun. Sejak saat itulah hatinya penuh dengan keimanan dan kecintaan terhadap Rasulullah –shallalahu ‘alaihi wa sallam-. Maka ia dengan suka cita menjadi mu’adzdzin di Mekah sampai akhir hayatnya –radhiallahu ‘anhu-, bahkan keturunannya pun secara turun temurun menjadi mu’adzdzin di Mekah.[23]
Dalam kisah tersebut, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sangat pandai dalam membangkitkan dan memanfaatkan kelebihan seseorang agar tidak terbengkalai atau agar tidak digunakan untuk penyimpangan.
Dalam hal ini pun, ada kisah yang lain, kisah Zaid bin Tsabit –radhiallahu ‘anhu-, ketika masih kecil, keluarganya membawanya kepada Rasulullah -shallalahu ‘alaihi wa sallam- untuk didaftarkan menjadi pasukan perang untuk jihad fi sabiilillah bersama beliau, pada saat perang Badar. Namun, beliau menolaknya karena Zaid saat itu masih terlalu kecil badannya dan juga umurnya. Kemudian pada perang Uhud, pun belum diperkenankan karena alasan yang sama. Akan tetapi, keluarganya tidak putus harapan untuk menjadikan anaknya menjadi orang yang memiliki peran dalam perjuangan dakwah Islam, kemudian mereka membawa Zaid kepada Rasulullah yang sebelumnya mereka telah mempersiapkan terlebih dahulu agar Zaid memiliki kemampuan yang dapat diandalkan untuk dakwah Islam. Mereka berkata:
يا رسول الله! هذا غلام من بني النجار، وقد قرأ مما أنزل عليك سبع عشرة سورة
“Wahai Rasulullah, ini Zaid, telah menghafal 17 surat Al Quran..” Ujar keluarganya dengan penuh optimis. Lalu Zaid pun membacakan hafalannya itu dengan tartil dan indah sehingga membuat Rasulullah takjub dan senang, sehingga beliau menugaskan Zaid untuk menjadi sekretaris beliau dan mengamanatkannya menulis wahyu.
Rasulullah -shallalahu ‘alaihi wa sallam- pun bersabda padanya:
يا زيد! تعلم لي كتاب يهود، فإني -والله- ما آمنهم على كتابي
“Wahai Zaid, pelajarilah tulisan (berbahasa) Yahudi, karena -Demi Allah- Aku tidak merasa aman atas kebohongan mereka terhadap suratku!”
Maka Zaid –radhiallahu ‘anhu– mampu menguasai bahasa dan tulisan Yahudi dalam waktu setengah bulan.
Di lain waktu, Rasulullah pun bertanya kepada Zaid:
أتحسن السريانية؟
“Apakah kau menguasai bahasa Suryani?”
ia menjawab “Tidak.” Lalu Rasulullah memerintahkannya untuk mempelajari bahasa Suryani, kemudian Zaid saat itu mempelajarinya dan bahkan mampu menguasai bahasa Suryani hanya dalam waktu 17 hari![24]
Dalam kisah sahabat mulia; Zaid bin Tsabit –radhiallahu ‘anhu– dan keluarganya tersebut terkandung pelajaran tentang pentingnya kerjasama keluarga untuk mencari potensi yang ada pada anak, karena seringkali seseorang tidak menyadari kelebihan yang ada pada dirinya dan butuh orang lain yang mengingatkannya, dan bahwasannya ketika seseorang lemah dalam bidang tertentu maka carilah bidang lainnya pasti ada suatu bidang lain yang merupakan potensi bakatnya yang Allah anugerahkan padanya sebagai bekal untuk memakmurkan bumi ini. Karena ditinjau dari pelaksanaan kehidupan di bumi ini maka manusia mendapatkan tugas sebagai berikut:
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
“…dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian pemakmurnya…” (QS. Hud: 61).
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya tatkala menafsirkan ayat tersebut menjelaskan bahwa: “Allah telah menjadikan kalian sebagai para pemakmur bumi yang akan memakmurkan dan memanfaatkan bumi.”[25]
Bumi ini mengandung berbagai macam sumber daya yang tidak mudah untuk dimanfaatkan sehingga menghasilkan kemakmuran bersama kecuali oleh ahlinya. Misalnya, barang tambang tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh para ahli tambang, lahan pertanian tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh ahli pertanian, lautan tidak bisa dimanfaatkan kecuali oleh ahli kelautan, dan seterusnya. Bidang-bidang keahlian tersebut apabila hendak dipelajari oleh seseorang sehingga menjadi ahli dalam memanfaatkannya maka harus benar-benar meneliti dengan penuh antusias, sedangkan seseorang akan antusias dalam meneliti dan mempelajari sesuatu bila disertai dengan adanya kemampuan dan rasa suka, maka inilah membutuhkan minat dan bakat.
Di antara dalil yang mengisyaratkan adanya keunikan keistimewaan kemampuan yang berbeda-beda pada masing-masing orang, mari renungkan firman Allah Yang Maha Bijaksana berikut ini:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلاً
“….Katakan (Muhammad) bahwa setiap orang akan berbuat sesuai pembawaannya masing-masing, maka Robbmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al Isra’ : 84)
Sebagian ulama, seperti imam Mujahid menafsirkan kalimat ayat: “Sesuai Pembawaannya Masing-Masing” bahwa maksudnya adalah : عَلَى حِدَّتِهِ وَطَبِيعَتِهِyakni: Sesuai Dengan Keahliannya Dan Tabi’atnya.[26]
bahwa manusia hidup di dunia ini untuk memakmurkan bumi sesuai dengan keistimewaan, keahlian, atau potensi masing-masing, dan itu semua dilaksanakan dalam rangka beribadah mengharapkan ridha Allah sehingga segala yang dilakukan manusia itu tidak boleh bertentangan dengan aturan Allah -subhanahu wa ta’ala-.
Wallahu a’lam
Disusun ulang oleh: Mochammad Hilman Al FIqhy
Kamis, 1 Rabiul Awwal 1445 H / 5 September 2024
==========
FOOTNOTE:
[1] H.R. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676, dan ia [Tirmidzi] berkata, “Ini hadits hasan shahih,” lihat Shahiihul Jaami’ no. 2546
[2] Musnad Al-Muwaththa’ no. 783, Al Jauhariy.
[3] Rahiiqul Makhtuum, karya Al-Mubarakfuri.
[4] Shahiih Al Bukhari, no. 97
[5] Ibnu Sahnun, kitab Aadaab al mu’allim, 37.
[6] dalam bukunya, Al-Ishaabah (7: 727)
[7] Riwayat Musnad Ahmad, 5/315
[8] Riwayat Musnad Ahmad, 1/389, dan Al khatib dalam Al Jaami’ 2/92, meriwayatkan dengan lafaz, “dan sungguh Zaid saat itu pulang pergi ke Kuttab.”
[9] (Ibnu Jarir, Al Ishabah 1:462, [dinukil dari kitab ‘Ashrul Khilaafah Al Raasyidah, karya Akram Al Umr]).
[10] Ghayatun Nihaayah, 1/446, karya Ibnul Jazari
[11] Aadaabul Mu’allim, 40-41. karya Ibnu Sahnun,
[12] ‘Audatul Hijaab 2/207.
[13] Al Isti’aab fii Ma’rifatil Ashhaab, 2/631, Sebagaimana dikutip Arbi’iin Hadiitsan fi At Tarbiyah wal Manhaj
[14] Al Jaami Li Akhlaaq Ar-Raawi, 2/195. Karya Khatib Al Baghdadi.
[15] Al Jaami Li Akhlaaq Ar-Raawi, 2/195. Karya Khatib Al Baghdadi.
[16] Al Jaami Li Akhlaaq Ar-Raawi, 2/195. Karya Khatib Al Baghdadi.
[17] https://sabiluna.net/703/metode-menghafal-al-quran-ketika-masih-kecil-dan-dewasa/
[18] At Tarbiyah fil Islam, karya Ahmad Al Ahwani, hlm: 70 dan 257
[19] At Tarbiyyah ‘abra Taariikh, 189-193
[20] Tazdkiratus Saami’, hal. 57
[21] Tuhfatul Mauduud bi Ahkaamil Mauluud, halaman 353-354.
[22] Athfaalul muslimiin kaifa rabbaahumun Nabiy, 82 & 89
[23] HR. Muslim, secara makna.
[24] Diringkas dari kitab Siyar A’laam An Nubalaa’ tentang biografi Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu.
[25] Tafsir Ibnu Katsir
[26] Tafsir Ibnu Katsir