Siapakah Orang Yang Selayaknya Diprioritaskan Diajarkan Ilmu Syar’i?

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata:

“Sebab turunnya ayat-ayat yang mulia ini (yakni; Surat ‘Abasa) adalah bahwasannya datang seorang laki-laki buta dari kalangan kaum Mukminin yang bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ingin belajar kepada beliau.
Dan datang pula seorang laki-laki dari kalangan orang-orang kaya, sedangkan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sangat berambisi agar seluruh makhluk mendapat hidayah, maka beliau condong kepada orang kaya tersebut dan menghindar dari orang buta yang faqir itu karena beliau lebih mengharapkan orang kaya itu mendapatkan hidayah dan berambisi menyucikannya, maka Allah menegur beliau dengan teguran yang lembut ini; lalu Allah memfirmankan (Surat ‘Abasa)….”

Kemudian setelah membawakan beberapa ayat surat Abasa, Syaikh As-Sa’diy pun mengatakan:

“….Ini adalah faidah yang besar yang merupakan di antara tujuan diutusannya para Rasul, di mana mereka itu sebagai para pemberi nasihat dan para pemberi peringatan. Maka sikap engkau terhadap orang yang mendatangimu dalam keadaan merasa faqir (membutuhkan) ilmu darimu adalah lebih layak engkau terima dan bahkan wajib diterima. Adapun berpalingnya engkau (dari orang faqir) dan kecondonganmu terhadap orang kaya yang padahal dia tidak merasa butuh (ilmu darimu), tidak bertanya, dan tidak pula meminta fatwa darimu karena memang dia tidak menginginkan kebaikan, yang kemudian kau malah meninggalkan orang yang lebih perhatian (terhadap ilmu) daripada orang kaya itu; maka sikap tersebut tidak pantas bagimu! Karena hakikat penyucian jiwa mereka itu bukan tanggungjawabmu, dan kalaupun dia (orang kaya) itu tidak mau berusaha menyucikan jiwanya maka kau tidak akan dihisab (ditanya) atas apa yang dia perbuat berupa kejelekan.

Maka, hal ini merupakan dalil bagi suatu kaidah yang telah masyhur:

لا يترك أمر معلوم لأمر موهوم، ولا مصلحة متحققة لمصلحة متوهمة

Artinya: Tidak boleh meninggalkan perkara yang jelas demi meraih perkara yang masih samar, dan tidak boleh meninggalkan maslahat yang jelas terbukti demi meraih maslahat yang masih dikira-kira.
Serta, penuntut ilmu yang membutuhkan ilmu dan yang bersemangat; hendaklah lebih diprioritaskan untuk diterima daripada terhadap orang yang tidak seperti itu!” –selesai nukilan-
(Taisiirul Kariimir Rahmaan, Tafsir Surat Abasa: 1-10).

============

Ditulis oleh: Mochammad Hilman Al Fiqhy
Februari 2018

📜Surat Abasa ayat 1-10:

عَبَسَ وَتَوَلَّى (1) أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى (2) وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى (3) أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى (4) أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى (5) فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى (6) وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى (7) وَأَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى (8) وَهُوَ يَخْشَى (9) فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى (10)

Artinya:
“(1) Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2) Karena Telah datang seorang buta kepadanya (3) Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4) Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? (5) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (6) Maka kamu melayaninya. (7) Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). (8) Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9) Sedang ia takut kepada (Allah). (10) Maka kamu mengabaikannya.”

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: