Faedah Pembahasan Ini:
-
Bagi yang belum menikah, agar mengetahui bahwa keadaan anak sangat dipengaruhi oleh keadaan orang tuanya sehingga dalam mencari pasangan memiliki pertimbangan yang matang demi mendapatkan pasangan yang mampu mengkondisikan keluarganya untuk mendidik anak-anaknya
-
Bagi yang sudah menikah agar dapat mengikuti bimbingan Islam untuk menjadi orang tua yang ideal sehingga menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dan dapat mendidik mereka dengan benar sehingga muncul generasi yang hebat
Pendidikan akidah Tauhid ini sangat penting, untuk menyiapkan jiwa sang anak dalam mengarungi masa depannya. Semakin kuat Tauhid seseorang maka akan semakin siap dalam menjalankan segala ketetapan Allah Ta’ala dan dalam menempuh berbagai macam tantangan kehidupan.
Lingkungan keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak sehingga baik atau tidaknya masa depan anak sangat dipengaruhi oleh keadaan pendidikannya di lingkungan keluarga. Bahkan keadaan agama seorang anak, sangat dipengaruhi oleh keadaan agama orang tuanya. Sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap bayi yang lahir akan dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi; sebagaimana binatang ternak melahirkan anaknya (yang sempurna) maka apakah dapat kau lihat adanya cacat!?” (HR. Bukhari dan Muslim)[1].
Demikian pula penjelasan Imam Ibnul Qayyim (w. 751 H.) -rahimahullah-, ia berkata,
“Orang yang malas dalam mendidik anaknya kepada apa yang bermanfaat bagi anaknya sehingga menyia-nyiakannya begitu saja; maka sungguh orang seperti itu telah bersikap sangat buruk terhadap anaknya! Dan kebanyakan Kerusakan yang terjadi pada anak-anak, penyebabnya adalah berasal dari Bapak-bapak mereka; yang telah menelantarkan mereka; yang tidak mendidik mereka terhadap kewajiban-kewajiban dan Sunnah-sunnah dalam agama sehingga anak-anak tersebut menyepelekan kewajiban dan Sunnah tersebut semenjak mereka masih kecil. Oleh karena itulah, bapak-bapak tersebut pada akhirnya tidak bisa mendapatkan manfaat dari anak-anak mereka (saat masih kecil) dan anak-anak tersebut pun tatkala tumbuh dewasa tidak akan memberikan manfaat kepada bapak-bapak mereka.”[2]
Yang patut diperhatikan di sini, bahwasanya di zaman Ibnul Qayyim itu telah ada dan tersebar lembaga-lembaga Pendidikan dengan berbagai macam kurikulum dan sistemnya yang bagus. Namun, kemudian beliau ‘menyalahkan’ orangtua atas keteledorannya dalam mendidik anak. Hal itu karena, sebaik apapun lembaga pendidikan, kalau tidak ada peran penting kerjasama orang tua dalam mendidik, maka sangat sukar bagi sang anak untuk berhasil dalam pendidikannya.
Banyak hasil penelitian barat yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua dan kerjasama yang aktif dari orang tua dengan lembaga pendidikan itu menyebabkan pengaruh yang sangat besar bagi baiknya moral, sikap, dan kesuksesan belajar anak. Karenanya, demi kerusakan yang besar itu Iblis -yang terlaknat- sangat senang dan takjub terhadap bala tentaranya dari kalangan setan yang berhasil menggoda dan merusak kehidupan suami istri sampai terjadi perceraian yang dengan sebab perceraian tersebutlah pendidikan dan keadaan anak menjadi kacau.[3]
Untuk mengetahui peran masing-masing anggota keluarga, berikut ini ada suatu hadits yang mengandung isyarat mengenai pembagian tugas anggota keluarga dalam kehidupan rumah tangga.
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ ومَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ؛ فَالإِمَامُ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والرَّجُلُ في أهْلِهِ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، والمَرْأَةُ في بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وهي مَسْؤُولَةٌ عن رَعِيَّتِهَا، والخَادِمُ في مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ. قالَ: فَسَمِعْتُ هَؤُلَاءِ مِن رَسولِ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وأَحْسِبُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ قالَ: والرَّجُلُ في مَالِ أبِيهِ رَاعٍ وهو مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عن رَعِيَّتِهِ.
Artinya: “Kamu sekalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang kalian pimpin.
- Seorang Amir (raja) adalah pemimpin dan kelak akan ditanyai mengenai rakyatnya,
- Seorang suami pemimpin atas keluarganya dan kelak akan ditanyai mengenai rumah tangganya,
- Seorang istri penanggung jawab bagi rumah suaminya (dan anak-anaknya) dan kelak akan ditanyai mengenai tanggung jawabnya itu.
- Pembantu penanggung jawab harta tuannya dan kelak akan ditanyai mengenai tanggungjawabnya itu.
- Dan seorang laki-laki penanggungjawab atas harta bapaknya dan kelak akan ditanyai mengenai tanggungjawabnya itu.
Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[4]
Perhatikanlah hadits tersebut! Rasulullah menyebutkan tanggungjawab masing-masing anggota keluarga yang harus ditunaikan dengan sebaik mungkin karena kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah -Azza wa Jalla-, dari hadits tersebut kita dapat mengatur prioritas kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap anggota rumah tangga agar kehidupan rumah tangga menjadi stabil dan sakinah mawaddah wa rahmah (penuh ketengan dan kasih sayang) sehingga dapat mendidik generasi yang tangguh dan mulia di sisi Allah Ta’ala, karena pendidikan yang maksimal dan sukses hanya akan tercapai jika kehidupan rumah tangga tentram.
Tahapan Praktik Pendidikan Anak
Bagimana cara menanamkan Tauhid pada anak-anak dalam melakukan ibadah? Bolehkah mengiming-imingi anak dengan hadiah duniawi dalam mendidik shalat? Apakah dampaknya bila anak dimotivasi beribadah dengan diiming-imingi hadiah duniawi? Bagaimana cara bersikap tegas dalam mendidik anak untuk beribadah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas pada penjelasan hadits berikut ini.
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggalkan shalat, maka pukullah ia! Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)[5]
Penjelasan hadits tersebut dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Al-Ruhaily –hafizhahullah– ketika beliau ditanya oleh seorang ibu mengenai apakah anak kecil umur 7 tahun harus dipaksa melaksanakan shalat wajib 5 waktu serta shalat sunah fajar dan witir?
Maka Syiakh menjawab:
“Tidak! Kita jangan memaksanya shalat Subuh maupun shalat fajar (sebelum shalat subuh). Kita jangan memaksanya melaksanakan yang fardhu (wajib) maupun yang sunah!
Akan tetapi, kita berikan motivasi kepadanya dalam melaksanakan ibadah fardhu. Maka kita menyuruhnya dengan perintah yang memotivasi; bukan perintah yang memaksa; bukan pula perintah yang mengandung kekerasan! (Misalnya, kita katakan: )
‘Shalatlah! karena orang yang shalat akan dicintai Allah.’
‘Shalatlah! karena orang yang shalat akan dimasukkan oleh Allah ke Surga’
‘Shalatlah! agar Allah meridhai ayahmu ini…’
Dan, kami memperingatkan dari apa yang dilakukan oleh sebagian orang; berupa menggantungkan hati anak (saat memotivasi beribadah) kepada duniawi! Ini bertentangan dengan metode Tarbiyah (pendidikan) yang benar.
(Misalnya dengan mengatakan:) ‘Shalatlah! nanti ku beri manisan buat kamu’, ‘Bila kamu shalat hari ini, nanti ku beri uang beberapa Riyal.’
Cara tersebut justru akan menyebabkan anak itu beribadah dengan tujuan duniawi!
Akan tetapi, tidak apa-apa bila Anda mengatakan padanya: ‘Shalatlah! dan bila kau shalat; semoga nanti Allah memberiku petunjuk untuk memberimu beberapa uang Riyal…’
Lalu, saat anak itu telah shalat, Anda katakan padanya: ‘Sungguh Allah telah memberiku petunjuk sehingga Aku memberimu beberapa uang Riyal ini. Itu karena Allah ridha terhadap shalatmu itu.’
Boleh juga Anda motivasi anak dengan sesuatu yang ia sukai. Tetapi Anda jangan menjadikan hatinya bergantung kepada duniawi.
Yakni, tatkala Anda memberi (hadiah) duniawi, maka jadikanlah pemberianmu itu sebagai jalan untuk mendekatkan anak tersebut kepada Allah; yakni eratkanlah hubungan anak dengan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Maka, selama 3 tahun, (7 sampai 10 Tahun), seluruh masa tersebut adalah pendidikan dengan motivasi seperti itu.
Karena itu, terhadap anak yang telah berumur 8 tahun tatkala tidak shalat maka Anda tidak boleh mengatakan: ‘Jika kamu tidak shalat maka kamu Kafir!’
Namun, tidak apa-apa apabila Anda mengatakan: ‘Wahai ananda, camkanlah! bahwa seluruh orang Islam itu harus melaksanakan shalat’; ‘Orang-orang yang yang tidak shalat, berarti mereka itu tidak mencintai Allah.’
Lain halnya, tatkala Anda melakukan kekerasan kepada anak dalam hal ini, seperti mencelanya, membentaknya, maka ini tidak disyari’atkan! (Tidak boleh dalam syari’at Islam!)
Lakukanlah perintah-perintah yang memotivasi;
Yakni: diawali dengan kita motivasi anak untuk melaksanakan yang fardhu (wajib). Kemudian setelah itu, kita motivasi ia terhadap hal-hal yang sunah hukumnya. Dilakukan dengan bertahap agar tidak membuatnya meresa berat dan bosan (karena diharuskan mengerjakan yang wajib dan yang sunat sekaligus), kemudian kita memotivasinya untuk pergi ke masjid, lalu kita mengajarkannya.
Anak-anak itu selalu mempelajari.
Sekitar dua atau tiga pekan lalu, saat Saya berada di dalam mobil sendirian, lalu Saya bersin, dan saya ucapkan Alhamdulillah (dengan pelan). Tiba-tiba datang anak kecil dari kejauhan, umurnya sekitar di bawah 7 tahunan, lalu ia diam di sampingku dan bertanya: ‘Kenapa engkau tidak mengucapkan Alhamdulillah?’
Hal itu karena orang tua anak tersebut telah mengajarkannya mengucapkan Alhamdulillah bila bersin, tetapi saat itu ia mendengar Saya bersin; namun ia tidak mendengar Saya mengucapkan Alhamdulillah. Maka anak itu pun datang kepada Saya dan bertanya seperti itu karena ia tidak mendengar Saya mengucapkan Alhamdulillah.
Begitulah anak-anak, fikiran mereka itu selalu mempelajari (keadaan sekelilingnya). Kitalah yang menanamkan pengajaran kepada mereka. Apabila kita tanamkan kebohongan; maka mereka pun belajar berbohong, dan apabila kita tanamkan kejujuran dan kebaikan, maka mereka akan belajar berbuat jujur dan kebaikan.
Akan tetapi, hati mereka tidak bisa nerima jika disakiti, maka Janganlah Anda menyakitinya! Janganlah Anda menyakiti hatinya dengan kata-kata dan janganlah Anda menyakitinya dengan pukulan! (Tetapi teruslah lakukan metode pendidikan motivasi anak) sampai ia berumur 10 tahun.
Apabila anak telah berumur 10 tahun, dan Anda tidak menyia-nyiakan pendidikan selama periode 3 tahun tersebut (dari sejak anak umur 7 sampai 10 tahun), selama itu pun Anda telah berusaha menggunakan metode yang benar, seperti mengucapkan: ‘Nak, shalatlah, karena Allah mencintai orang yang shalat…’ Anda benar-benar telah berusaha seperti itu.
Namun kemudian, apabila ia telah mencapai umur 10 tahun, ternyata anak anda belum juga mau melaksanakan shalat; maka silahkan mulailah Anda memukulnya dengan pukulan yang tidak melukainya.
Akan tetapi, apabila selama priode 3 tahun tersebut Anda hanya diam; tanpa memerintahkannya shalat, yakni dari sejak anak Anda umur 7 tahun; Anda tidak menyuruhnya shalat sampai umur 10 tahun, lalu saat anak Anda telah berumur 10 tahun; tiba-tiba Anda menyuruhnya shalat dengan cara memukulnya menggunakan tongkat! yakni Anda hanya memanfaatkan pukulan tongkat dalam mendidiknya shalat! Sedangkan Anda telah meninggalkan kewajiban mendidiknya dengan cara lemah lembut!?
Padahal seharusnya, anak kecil yang berumur 7 tahun, kita memulainya dengan perintah yang mengandung motivasi, itu pun dengan bertahap, dan tanpa membuatnya bosan. Berusahalah agar menjadikan anak selalu terkait hatinya dengan shalat dan cinta shalat. Kita pun harus bertahap dalam melakukannya.
Setelah itu, kemudian kita berpindah memerintah anak melakukan perkara sunah rawatib yang mu-akkadah (yang paling ditekankan) dahulu, yakni shalat sunat fajar dan witir. Kemudian berpindah lagi kepada memerintahkan sunat rawatib yang tidak terlalu ditekankan, kemudian selanjutnya memerintahnya shalat malam.
Betapa baiknya, andaikata kita menyuruh anak melakukan sunnah-sunnah tersebut dengan cara kita mencontohkannya dengan mempraktikannya, maka inilah yang lebih meresap bagi anak dan juga cara yang lebih baik. Misalnya: kita bawa anak ke masjid untuk melaksanakan shalat fardhu, lalu tatkala pulang; kita lakukan shalat sunat, dan setelah itu kita katakan: ‘wahai anakku, ini adalah Sunnah Nabi.’
Metode ini lebih meresap ke hati anak, daripada hanya sekedar kata-kata. Memang perkataan itu adalah dakwah, namun bila disertai dengan dakwah perbuatan maka tentu itu sangat lebih berpengaruh dan lebih baik.” -Selesai transkip terjemahan-[6]
Dari penjelasan Syaikh Prof. Dr. Sulaiman Al-Ruhaily –hafizhahullah– dapat disimpulkan bahwa:
- Selama 3 tahun, (7 sampai 10 Tahun), seluruh masa tersebut adalah pendidikan dengan motivasi. kita berikan motivasi kepadanya dalam melaksanakan ibadah fardhu. Maka kita menyuruhnya dengan perintah yang memotivasi; bukan perintah yang memaksa; bukan pula perintah yang mengandung kekerasan!
- Motivasi tersebut harus dikaitkan dengan Tauhid, sehingga akan menumbuhkan keimanan yang benar.
- Apabila Anda tidak menyia-nyiakan pendidikan Tauhid pada anak selama rentang periode 3 tahun, dari sejak anak umur 7 sampai 10 tahun, maka jika anak itu telah mencapai umur 10 tahun itu tidak melaksanakan shalat; silahkan mulailah memberi hukuman dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas luka.
- Betapa baiknya andaikata kita menyuruh anak melakukan perkara Sunnah dengan cara mencontohkannya dan mempraktikannya. Inilah yang lebih meresap bagi anak dan juga cara yang lebih utama.
Alhamdulillah, selesailah pembahasan buku sederhana ini, dengan karunia pertolongan-Nya -Azza wa Jalla–
~***~
Baca bahasan artikel sebelumnya:
Membina Keluarga Bertauhid
Silakan baca juga artikel-artikel berikut ini yang merupakan bagian dari pembahasan tema Membina Keluarga Bertauhid :
- Pengaruh Tauhid dalam Mendapatkan Jodoh shalih/shalihah
- Pengaruh Tauhid terhadap keberkahan Rumah Tangga
- Parenting Islami (Menumbuhkan Tauhid pada Anak)
=====
CATATAN KAKI:
[1] Shahiih Al Bukhari no. 1385, dan Sahiih Muslim no. 2658.
[2] Tuhfatul Mauduud, halaman 337.
[3]Lihat di link web: https://sabiluna.net/849/betapa-mudahnya-menumbuhkan-tauhid-anak-kecil/
[4] Shahiih Al Bukhari no. 2409 dan Shahiih Muslim no. 1829,
[5] Shahiih Abi Dawud no. 495 dan Musnad Imam Ahmad no. 6689. Dinilai Hasan shahih oleh Al Albani.
[6] Sumber rekaman: https://youtu.be/0aIKHL-wAaI