Pengaruh Tauhid terhadap keberkahan Rumah Tangga

Faedah Pembahasan Ini:

  • Persiapan Bagi yang belum menikah, agar ada gambaran

  • Bagi yang sudah menikah agar bisa mengikuti petunjuk untuk menjadi suami/istri yang ideal

  • Bagi orang tua yang memiliki anak yang sudah dewasa agar dapat menyiapkan anaknya untuk menjadi orang yang layak mendapatkan pasangan yang shalih/shalihah

Memiliki pasangan dan bergaul dengannya dalam membina rumah tangga itu tidak gampang dan tidak semulus yang diangan-angankan, karena akan selalu ada ujian yang akan membedakan siapa yang tulus hidup bersama kita dan siapa yang penuh kedustaan, karena begitulah sunatullah (ketetapan Allah) bagi orang yang berusaha tegak di atas keimanan, sebagaimana dalam firmanNya:

وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَیَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ صَدَقُوا۟ وَلَیَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِینَ

“Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 3)

Bahkan, dalam pergaulan bersama orang-orang shalih pun kita harus bersabar, karena sebaik apapun manusia, mereka tetap memiliki kekurangan yang harus kita maklumi. Allah Ta’ala berfirman:

وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِیِّ یُرِیدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَیۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِیدُ زِینَةَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطࣰا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)

Demikian juga tatkala kita hidup bersama istri, tentu harus benar-benar bersabar dan banyak memaafkan serta memaklumi. Apalagi hubungan suami istri adalah termasuk target utama dari misi para setan dalam merusak umat manusia. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا، قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ : مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قَالَ : فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ قَالَ الْأَعْمَشُ: أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ.

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian ia mengutus para tentaranya (setan-setan); maka kedudukan mereka yang paling dekat dengan Iblis adalah mereka yang paling besar menebarkan fitnah (kekacauan). Salah satu setan ada yang datang menghadap Iblis dan berkata: ‘Aku telah melakukan godaan begini dan begitu..’ Maka Iblis menjawab: ‘Kamu belum melakukan sesuatu yang berarti!’ Lalu setan yang lain datang dan berkata: ‘Tidaklah Aku meninggalkan seseorang melainkan Aku telah memisahkan (ikatan nikah) orang itu dengan istrinya!’ Maka Iblis berkata: ‘Kaulah Setan yang terhebat!’ Lalu Iblis mendekati setan tersebut.”  (HR. Muslim)[1].

Bahkan, di dalam riwayat lain disebutkan bagaimana cara setan membuat suami istri bertengkar:

إن الشيطانَ يأتي إلى فراشِ أحدِكم بعدما يفرشُه أهلُه ويهيئونه فيلقي عليه العودَ والحجرَ والشيءَ ليغضبَه على أهلِه ، فإذا وجد ذلك فلا يغضبْ على أهلِه ، قال : لأنه من عملِ الشيطانِ

“Sesungguhnya setan datang kepada kasur salah seorang dari kalian setelah istrinya membereskan dan menyiapkannya (untuk digunakan tidur), lalu setan tersebut melemparkan potongan kayu atau batu atau benda lainnya agar suaminya marah kepada istrinya! Karenanya, apabila kalian mendapatkan hal yang seperti itu maka janganlah memarahi istrinya! Karena hal tersebut sebenarnya dari perbuatan setan.”[2]

Bimbingan Bagi Suami terhadap Istrinya

Setiap suami pasti akan mendapatkan suatu kekurangan pada Istrinya. Dan ternyata hal tersebut telah dikabarkan dan dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan beliau pun memberikan solusi dan rumus dalam menyikapinya.

Penjelasan beliau itu sangat penting untuk direnungkan oleh para suami agar memiliki bekal penting ketika barlabuh dalam bahtera rumah tangga sehingga dapat bertahan saat badai menerjang bertubi-tubi dan bagaikan batu karang yang tetap kokoh walau deburan ombak menghantamnya setiap saat. Berikut ini hadits-hadits beserta penjelasan para Ulama mengenai hal tersebut:

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج ما في الضلع أعلاه؛ فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا.

“Berwasiatlah kepada para wanita dengan kebaikan; karena wanita itu tercipta dari tulang rusuk, sedangkan yang paling bengkok dari rusuk itu adalah yang paling atasnya. Apabila kau (memaksa) meluruskannya maka niscaya kau mematahkannya, dan apabila kau membiarkannya maka ia akan terus bengkok; maka berwasiat baiklah kepada para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)[3].

Dalam riwayat yang lain di dalam dua kitab Shahihain[4] disebutkan:

المرأة كالضلع؛ إن أقمتها كسرتها وإن استمتعت بها استمتعت وفيها عوج

“Wanita bagaikan tulang rusuk; apabila kau meluruskannya niscaya kau mematahkannya dan bila kau bersenang-senang dengannya niscaya kau akan bersenang-senang sedangkan padanya ada kebengkokan.

Dan dalam riwayat Muslim[5] disebutkan:

إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة؛ فإن استمتعت بها استمتعت بها وفيها عوج وإن ذهبت تقيمها كسرتها؛ وكسرها طلاقها.

“Sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk yang tidak akan bisa lurus dengan cara apapun, apabila kau bersenang-senang dengannya niscaya kau akan bersenang-senang sedangkan padanya ada kebengkokan, apabila kau (memaksa) meluruskannya niscaya kau akan mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan bahwa:

“Penulis (kitab: Riyadhush Shalihin) menyebutkan hadits yang dinukil dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- mengenai sikap mempergauli para wanita: bahwasannya Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda “استوصوا بالنساء خيرا” yang maknanya: Terimalah wasiat ini yang dengannya aku wasiatkan kepada kalian; yaitu hendaklah kalian melakukan kebaikan terhadap para wanita; karena para wanita itu pendek akalnya, pendek agamanya, pendek berfikirnya, dan pendek dalam segala halnya karena mereka itu tercipta dari tulang rusuk.

Hal itu karena Adam –‘alaihish shalatu wa salam- telah diciptakan Allah dengan tanpa bapak dan ibu, bahkan Allah mencipakan beliau dari tanah, kemudian Allah berfirman padanya: “kun fayakuun!” (“Jadilah! Maka terjadilah”). Dan ketika Allah ta’ala hendak memperbanyak makhluk ini (yakni: manusia) maka Allah menciptakan pasangan Nabi Adam dari dirinya sendiri, lalu Allah menciptakan pasangan Nabi Adam dari tulang rusuknya yang bengkok, maka terciptalah pasangannya dari tulang rusuk yang bengkok. Sedangkan tulang rusuk bengkok; apabila kau bersenang-senang dengannya maka kau bisa bersenang-senang dengannya dalam keadaan pada dirinya terdapat kebengkokan, dan bila kau (memaksa) meluruskannya maka tulang rusuk itu akan patah.

Demikianlah wanita, apabila seorang laki-laki ingin bersenang-senang dengan istrinya, maka dia bisa bersenang-senang dengannya tetapi dengan disertai adanya kebengkokan lalu dia pun merasa rela terhadap apa saja yang telah dimudahkan baginya, sedangkan bila dia ingin istrinya lurus total maka sungguh wanita itu tidak akan pernah lurus dan dia tidak akan pernah mampu meluruskannya!

Bahkan seandainya wanita itu telah lurus agamanya maka ia tidak lurus dalam hal lain yang menjadi konsekuensi kebengkokan tabiatnya, dan tidak akan pernah menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan suami yang mengharap kecocokan dengan istrinya dalam segala hal. Namun, justru pada kenyataannya pasti ada perselisihan, pasti ada ketidaksempurnaan bersamaan dengan kekurangan yang merupakan konsekuensi tabi’at wanita; maka wanita itu adalah ‘pendek (akal)’ berdasarkan watak dan tabi’atnya, serta wanita pun merupakan muqashshirah (yakni: orang yang memiliki kekurangan) yang mana bila kau (paksakan) meluruskannya maka kau akan mematahkannya; dan patahnya itu adalah mentalaknya (menceraikannya)

Maksud dari semua itu adalah bahwasannya bila kau mencoba menjadikan istrimu lurus sesuai dengan yang kau inginkan; maka itu tidak mungkin terjadi, dan pada saat itulah kau akan menganggapnya sial, lalu menceraikannya. Maka, yang dimaksud ‘patahnya wanita itu’ adalah menceraikannya.

Pada (pembahasan) ini pun terdapat arahan dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenai pergaulan seseorang dengan istrinya, yaitu: bahwasannya hendaklah dia memaafkan istrinya, dan menerima apa yang telah dimudahkan baginya, sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman: “…ambillah sikap memaafkan…” yakni; apa (yang berhak) dimaafkan dan mudah dari akhlak manusia, “…dan suruhlah kepada perbuaan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199).

Walau bagaimanapun, tidak mungkin kau menemukan seorang wanita yang seratus persen selamat dari aib (kekurangan), atau yang seratus persen baik terhadap suaminya! Akan tetapi, sebagaimana yang telah diarahkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: bersenang-senanglah padanya dengan disertai apa yang ada padanya berupa kebengkokan. Dan juga seandainya kau membenci sebagian akhlak istrimu maka niscaya kau ridha pada akhlaknya yang lain, maka imbangilah keadaan yang satu dengan yang lainnya dengan melalui kesabaran. Sungguh Allah ta’ala telah berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (19)

“….Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara ma’ruf (baik), kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (para istri), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. Annisa: 19). –selesai nukilan-[6]

Apabila hakikat keadaan tabiat perempuan seperti itu dan laki-laki diperintah untuk bersabar dan memakluminya, lantas sampai batasan apakah laki-laki harus bersikap demikian?

Jawaban dari pertanyaan tersebut terdapat pada hadits beserta penjelasannya berikut ini. Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج ما في الضلع أعلاه؛ فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء

“Berwasiatlah kepada para wanita dengan kebaikan; karena wanita itu tercipta dari tulang rusuk, sedangkan yang paling bengkok dari rusuk itu adalah yang paling atasnya. Apabila kau (memaksa) meluruskannya maka niscaya kau mematahkannya, dan apabila kau membiarkannya maka ia akan terus bengkok; maka berwasiatlah kepada para wanita.” (Muttafaqun ‘alaih)[7].

Imam Ibnu Hajar Al Atsqalaniy –rahimahullah- menjelasakan sebagai berikut:

Sabda beliau: [ بالنساء خيرا :“…terhadap para perempuan dengan baik…”] di dalamnya terdapat suatu rumus untuk meluruskan ‘kebengkokan wanita’, yaitu: dengan cara lemah lembut; yang mana tidak berlebih-lebihan dalam meluruskan sehingga mematahkan dan tidak pula membiarkannya begitu saja sehingga terus menerus bengkok. Hal itulah yang diisyaratkan oleh penulis (kitab riyadhush shalihin), yakni yang dengan setelah itu ia membahas tema: “Bab: lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari Neraka.” (setelah pembahasan ‘kebengkokan wanita’).

Maka dari itu bisa diambil (faidah;) bahwasannya tidak boleh membiarkan perempuan tetap berada dalam ‘kebengkokan’ apabila kebengkokannya itu membawanya kepada perbuatan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban. Sedangkan yang dimaksud dengan membiarkan (tabi’at) perempuan itu dengan kebengkokannya (tanpa dipaksakan lurus sehingga patah) adalah apabila kebengkokannya masih dalam perkara-perkara yang mubah.

Dan dalam hadits tersebut pun terdapat anjuran bersikap ramah agar jiwa menjadi menarik sehingga dapat melunakkan hati orang lain. Demkian pula pada hadist tersebut terdapat cara menyiasati para wanita, yaitu; dengan memberi mereka maaf dan bersabar terhadap ‘kebengkokkan’ mereka, dan bahwasannya seseorang yang menghendaki para wanita itu lurus adalah dengan cara mengambil menfaat (bersenang-senang) dengan mereka (bagaimana pun keadaannya). Karena memang sesungguhnya seorang lelaki sangat membutuhkan perempuan yang akan menenangkan jiwanya dan membantu kehidupannya. Maka,  seolah-olah beliau menyabdakan: ‘bersenang-senang dengan perempuan tidak akan sempurna melainkan dengan disertai kesabaran terhadap (kekurangan)nya.’” –selesai nukilan-[8]

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًاۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata!? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Qs. An-Nisa: 21)

Pada ayat tersebut mengandung penjelasan bahwa seandainya ada persengketaan antara suami istri sehingga mengharuskan adanya perceraian; Allah Ta’ala melarang suami meminta kembali mahar atau harta yang pernah ia berikan kepada istrinya dahulu walaupun harta yang ia berikan itu sangat banyak. Hal itu karena harta yang telah diberikan tersebut sudah menjadi hak milik istrinya. Pada ayat tersebut pun mengandung isyarat bahwa kebanyakan permasalahan yang muncul dalam hubungan pasangan suamu istri pada mulanya disebabkan oleh perkara harta, yakni kebanyakan suami yang bermasalah dengan istrinya adalah karena istrinya memiliki harta, baik itu yang berasal dari warisan atau pekerjaan, kemudian sang suami ingin mengambil harta tersebut. Maka dengan ayat tersebut, Allah Ta’ala menutup rapat celah penyebab munculnya percekcokan hubungan suami istri. Yakni, dengan melarang suami mengambil kembali mahar yang dahulu telah ia berikan kepada istrinya, sehingga bagi suami, jangankan mengambil harta istri yang bersumber dari jerih payah usahanya sendiri, mengambil kembali mahar yang dahulu diberikan suami pun dilarang keras![9]

Dari pemaparan di atas mengenai bimbingan dari Al-Quran terhadap suami dalam mempergauli istrinya dapat disimpulkan pada tiga hal berikut ini[10]:

  • Berakhlak mulia dengan mempergauli istri secara makruf
  • Bila suami membenci suatu tabiat jelek istrinya maka tetap sukailah tabiatnya yang lain karena pasti ada tabiatnya yang baik
  • Suami tidak boleh merebut harta milik istrinya

 

Bimbingan bagi Wanita

Ada laki-laki yang tadinya memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya tetapi menjadi durhaka semenjak menikah dengan istri pujaannya. Ada laki-laki yang hidup normal dengan badan yang kuat, namun menjadi kurus kering, bahkan binasa karena patah hati gara-gara perempuan pujaannya. Maka, benarlah apa yang diwanti-wantikan oleh baginda Rasul -shalallahu ‘alaihi wa sallam-,

ما تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أضَرَّ علَى الرِّجالِ مِنَ النِّساءِ.

“Tidaklah Aku tinggalkan sepeninggalku suatu fitnah (ujian) yang lebih berbahaya atas para lelaki daripada wanita!” (HR. Bukhari dan Muslim)[11]

Namun, tentu wanita yang dimaksud tersebut adalah wanita-wanita yang buruk perangainya. Karena para wanita salihah, justru menjadi perhiasan paling indah sedunia dan penyebab datangnya berbagai kebaikan. Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الدُّنيا متاعٌ وخيرُ متاعِها المرأةُ الصَّالحةِ

“Dunia adalah perhiasan, sedangkan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah.” (HR. Muslim)[12]

Oleh karena itu, beliau pun bersabda,

أربع من السعادة: المرأة الصالحة ، والمسكن الواسع ، والجار الصالح، والمركب الهنيء، وأربع من الشقاوة: الجار السوء، والمرأة السوء، والمسكن الضيق، والمركب السوء

“Ada empat hal yang merupakan bagian dari Kebahagiaan, yaitu Istri salihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang salih, dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang merupakan bagian dari Kesengsaraan, yaitu: Tetangga yang buruk, istri yang berperangai jelek, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” (Shahiihut Targhiib, 2576)

 

Lalu apakah faktor terpenting yang menyebabkan wanita menjadi salihah?

Syaikh Al Utsaimin -rahimahullah- telah memberikan jawabannya, beliau berkata:

“Hendaklah semua wanita mengetahui bahwasanya mereka tidak dapat mencapai tingkat shalihah kecuali dengan melalui ilmu. Dan ilmu yang Saya maksudkan adalah ilmu Syar’i.”[13]

Bagaimanakah ciri-ciri wanita salihah?

Ilmu Syar’i bersumber dari Al Quran dan Sunnah berdasarkan pemahaman para ulama Salaf. Maka ilmu mengenai ciri-ciri wanita shalihah adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُۚ

“maka wanita-wanita yang salihah, ialah yang taat, lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga (mereka)”. (QS. An-Nisa: 34)

Ayat yang mulia tersebut, telah dijelaskan dengan hadits-hadits berikut ini:

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai dan Ahmad)[14].

Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا؛ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَائَتْ

“Apabila seorang wanita menegakkan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya; niscaya dia akan masuk surga dari pintu-pintu surga manapun yang dia sukai.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)[15].

Para wanita yang senantiasa menjaga hak Allah Ta’ala, yakni dengan melalui menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya walaupun dalam keadaan sembunyi-sembunyi serta tidak dilihat oleh manusia, maka Allah pun akan menjaga wanita tersebut karena siapapun yang menjaga hal-hak Allah maka Dia akan dijaga oleh Allah Ta’ala, sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ

“Jagalah (hak-hak) Allah, maka Dia pun akan menjagamu!” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)[16]

Bahkan kelak, tempat seorang wanita itu di surga ataukah di neraka tergantung pada sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka. Al Hushain bin Mihshan -radhiallahu ‘anhu- menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena satu keperluan. Setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepadanya,

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad)[17]

 

~***~

 

Kisah Istri yang Tidak Dapat Merasakan Manisnya Iman

Seorang wanita bertanya kepada Syaikh Al Albani -rahimahullah-:

 “Wahai Syaikh, sebelum menikah, Aku adalah wanita yang rajin saum dan shalat malam, Aku pun merasakan manisnya membaca Al-Qur’an. Sedangkan kini, Aku kehilangan manisnya ketaatan itu!”

Lalu Syaikh menanyakan: “Lantas, bagaimakah kadar perhatianmu kepada suamimu?”

Wanita itu pun berkata: “Wahai Syaikh, Aku bertanya padamu tentang Qur’an, saum, shalat, dan manisnya ketaatan; Namun, Engkau malah menanyaiku mengenai suamiku!?”

Syaikh menjelaskan: “Iya, wahai Ukhti. Kenapa sebagian wanita tidak mendapatkan manisnya keimanan dan lezatnya ketaatan serta pengaruh ibadahnya? Jawabnya, Karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ولا تَجدُ المرأة حلاوة الإيمان حتَّى تؤدِّي حقَّ زوجها

‘Seorang wanita tidak akan mendapatkan manisnya keimanan sampai ia menunaikan hak suaminya!‘” (HR. Al Hakim)[18] -selesai- [19]

Nasihat untuk Suami Istri

Tatkala hubungan pernikahan benar-benar ditegakkan di atas keimanan dan ketakwaan, maka hubungan tersebut akan tetap tegak abadi dan tidak akan roboh oleh terjangan badai ujian kehidupan, bahkan maut pun tidak akan memisahkan hubungan tersebut. Demikianlah, ketika cinta pasangan suami istri dilandasi dengan ketakwaan kepada Allah Ta’ala, maka kelak mereka akan diseru:

ٱدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ أَنتُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ تُحۡبَرُونَ

“Masuklah kamu sekalian ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan.” (QS. Az-Zukhruf 70)

Bahkan, ikatan kekerabatan tatkala dibangun di atas keimanan maka tidak akan terputus oleh kematian. Karena kelak di akhirat pun mereka akan kembali dikumpulkan dalam kenikmatan abadi. Allah -Azza wa Jalla- telah mengabarkan:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ

“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21)

Maka cinta yang benar, cinta karena Allah, merupakan cinta kepada orang yang berhak untuk dicintai karena Allah. Orang-orang yang saling mencinta seperti ini, hubungannya tidak akan pernah sirna dan akan tetap bersemi selamanya, walau seandainya kebersamaan mereka dipisahkan dengan kematian namun itu hanya perpisahan sementara karena kelak mereka akan dipertemukan kembali. Bahkan seandainya orang-orang yang saling mencintai karena Allah itu belum pernah saling berjumpa di dunia, kelak pasti akan dipertemukan di negeri keabadian dengan hubungan yang abadi, di alam yang tidak lagi ada kegundahan dan rasa sakit, surga karunia Allah yang seluas langit dan bumi.

Anas Bin Malik -radhiallahu ‘anhu- berkata:

فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيٍّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ، فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ مَعَهُمْ بِحُبِّيْ إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidak pernah gembira karena sesuatu apapun sebagaimana kegembiraan kami karena mendengar sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- “Engkau bersama yang engkau cintai”. Anas berkata, “Aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar; dan aku berharap aku (kelak dikumpulkan) bersama mereka meskipun aku tidak beramal seperti amalan shaleh mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)[20].

Al Quran dan Sunnah memberikan bimbingan yang sempurna mengenai kehidupan berumah tangga, maka sebenarnya semakin seseorang berusaha untuk komitmen kepada Islam atau sebagai Ahlus Sunnah, niscaya ia akan semakin baik dalam membina rumah tangga. Suami akan semakin bersikap baik dan bijaksana pada keluarganya, istri akan semakin penyayang dan taat pada suaminya, sehingga dari mereka lahirlah generasi yang berkualitas dan mulia.

 

 

~***~

 

Baca bahasan artikel sebelumnya:
Membina Keluarga Bertauhid

 

Silakan baca juga artikel-artikel berikut ini yang merupakan bagian dari pembahasan tema Membina Keluarga Bertauhid :

  1. Pengaruh Tauhid dalam Mendapatkan Jodoh shalih/shalihah
  2. Pengaruh Tauhid terhadap keberkahan Rumah Tangga
  3. Parenting Islami (Menumbuhkan Tauhid pada Anak)

 

 

 

=====

CATATAN KAKI:

[1] Shahiih Muslim no. 4940.

[2] Hadits marfu’ dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahiih Al Adab Al Mufrad, no. 911. (Asy-Syaamilah)

[3] Shahiih Al Bukhari no. 5185 dan  Shahiih Muslim no. 1468

[4] Shahiih Al Bukhari no. 5184 dan  Shahiih Muslim no. 1468

[5] Shahiih Muslim no. 1468, 5161.

[6] Syarhu Riyaadhish Shaalihiin, 3/116-118.

[7] Shahiih Al Bukhari no. 5185 dan  Shahiih Muslim no. 1468

[8] Fathul Baari: 9/290.

[9] Pejelasan Syaikh Abdus Salam Asy Syuwai’ir -hafizhahullah- pada muhadharah berjudul Akhtha Az Zaujiyah Tudammir Al Usrah.

[10] Idem.

[11] Shahiih Al Bukhari no. 5096 dan Shahiih Muslim no. 2740.

[12] Shahiih Muslim, no. 1467

[13] Daurul Mar-ah, halaman 8.

[14] Sunan An-Nasai no. 3231. Dinilai Hasan Shahih oleh Al Albani.

[15] Musnad Imam Ahmad no. 1661. Dihasankan oleh Al Albani dalam Shahiih At Targhiib wa At Tarhiib no. 1931. (Asy-Syaamilah)

[16] HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad no. 2803. Dinilai hasan shahih oleh Al Albani.

[17] Dinilai Shahih oleh Al Albani dalam Shahiih At Targhiib wa At Tarhib no. 1933. (Asy Syaamilah)

[18] Dinilai Hasan Shahih oleh Al Albani dalam Shahiih At Targhiib wa At Tarhib no. 1939. (Asy Syaamilah)

[19]  Dari website: https://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=14116&page=4

[20] Shahiih Al-Bukhari no. 3688 dan Shahiih Muslim 2639.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: