Membina Keluarga Bertauhid

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصاحبه أجمعين ومن اتبعهه بإحسان إلى يوم الدِّين

أما بعد

Rumah tangga merupakan unsur yang sangat vital bagi kehidupan manusia karena baik tidaknya rumah tangga akan berimbas pada keadaan kehidupan anggota rumah tangga tersebut. Bagi seorang bapak, jika rumah tangganya baik maka kesuksesan karirnya akan melejit; bagi seorang ibu, akan dapat mengurus keadaan di rumah dengan telaten serta dapat mendidik anak-anak dengan bijaksana; bagi seorang anak, maka jiwa dan raganya akan tumbuh dengan baik. Demikian sebaliknya, jika keadaan rumah tangga rusak (broken home) maka keadaan semua anggota rumah tangga tersebut akan kacau dan sangat sulit meraih target hidup yang diidamkannya. Bahkan keadaan rumah tangga pun akan mempengaruhi keadaan masyarakat.

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk menikah dan membangun rumah tangga dengan tujuan yang jelas dan penuh kemaslahatan, yaitu untuk ketenangan dan ketentraman serta hadirnya kasih sayang. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum: 21)

Untuk mencapai keadaan rumah tangga yang penuh berkah seperti itu, maka tentu kita membutuhkan penjelasan yang berdasarkan ayat Al Quran dan Sunnah yang dijelaskan oleh para Ulama. Dan ternyata, kesimpulan umumnya adalah bahwa asal muasal dari segala kebaikan dan keberkahan itu disebabkan oleh akidah Tauhid yang benar. Kenapa demikian? Mari kita ikuti penjelasan berikut ini:

Akidah merupakan keyakinan hati maka pembahasan tentang akidah merupakan pembahasan mengenai suatu keyakinan di dalam hati, dan adapun akidah yang benar adalah akidah Tauhid.

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

‎أَلا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلَّهُ أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ

“ketahuilah! Sesungguhnya di dalam suatu jasad ada suatu daging. Apabila daging tersebut baik; maka menjadi baiklah seluruh organ jasadnya, dan apabila daging itu jelek; maka menjadi jeleklah seluruh organ jasadnya. Ketahuilah! Maksud daging tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).[1]

Hadits tersebut menjadi dalil yang jelas bahwa; perbaikan Tauhid –yang mana pada awalnya bermula dari perbaikan keyakinan hati (akidah)- merupakan asal dari semua perbaikan dan penyebab terbesar suatu perubahan![2]

Oleh karena itu, ketika seseorang telah mampu melakukan perubahan hatinya sehingga terjadi perubahan pada dirinya, maka perubahan tersebut selanjutnya akan membawa pada perubahan yang lebih luas; baik itu perubahan diri, keluarga, masyarakat, dan bahkan sampai berakibat pada perubahan suatu bangsa.

Akidah Tauhid yang benar ini sangat penting, untuk menyiapkan jiwa seseorang dalam mengarungi masa depannya. Semakin kuat Tauhid seseorang maka akan semakin siap dalam menjalankan segala ketetapan Allah Ta’ala dan dalam menempuh berbagai macam ujian hidup.

Aisyah binti Abu Bakar –radhiallahu ‘anhuma- berkata:

إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لاَ تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا! وَلَوْ نَزَلَ لاَ تَزْنُوا لَقَالُوا لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا… (رواه البخاري) .

 “…. di antara surat-surat Al Quran yang diturunkan pada mulanya hanyalah surat-surat mufashshal (yakni yang pendek-pendek) yang padanya disebutkan tentang Surga dan Neraka, sampai apabila manusia telah semakin mantap keyakinannya terhadap Islam maka turunlah ayat-ayat mengenai perkara Halal dan Haram. Seandainya ayat yang pertamakali turun berbunyi ‘Janganlah kalian minum khamar (minuman memabukan)!’ niscaya mereka akan mengatakan ‘Kami tidak akan meninggalkan minum khamar selamanya!’ Seandainya ayat yang pertamakali turun berbunyi ‘Janganlah kalian berzina!’ niscaya mereka akan mengatakan ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya!’….” (HR. Bukhari)[3]

Ketika menjelaskan perkataan Aisyah –radhiallahu ‘anha- tersebut, Ibnu Hajar –rahimahullah- menyatakan:

“Hal tersebut mengisyaratkan adanya hikmah/kebijaksanaan ilahi dalam menetapkan tahapan turunnya surat-surat Al Quran, yakni bahwasannya di antara yang mula-mula diturunkan dari ayat-ayat Al Quran adalah seruan kepada Tauhid, yakni berupa pemberian kabar gembira Surga bagi orang yang beriman dan yang ta’at kepada-Nya, serta ancaman Neraka bagi orang kafir dan pelaku maksiat! Lalu tatkala jiwa manusia telah yakin terhadap hal-hal tersebut, turunlah ayat-ayat tentang hukum perkara halal dan haram.[4]

Demikianlah betapa pentingnya pendidikan agama, terutama keyakinan tentang akidah Tauhid, sangat berpengaruh bagi kesiapan jiwa anak-anak dalam menjalani kompleksnya problematika kehidupan. Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- bertutur:

“Ilmu tentang (nama-nama dan sifat-sifat mulia) Allah merupakan pokok dan sumber dari segala ilmu. Barangsiapa mengenal Allah maka ia akan mengenal hakikat selain dari Allah, dan barangsiapa yang bodoh terhadap Rabb-nya maka ia akan lebih bodoh lagi terhadap hakikat selain dari Rabb-nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ

Artinya: ‘Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri…’ (QS. Al Hasyr: 19)

Renungkanlah ayat tersebut; akan kau dapati padanya ada makna yang agung. Yaitu: bahwasannya orang yang lupa terhadap Rabb-nya maka Rabb pun akan menjadikan orang itu lupa pada hakikat dirinya sendiri dan pada hakikat jiwanya. Karena itulah orang tersebut tidak akan mengetahui hakikat dirinya dan tidak akan mengetahui hal-hal yang maslahat bagi dirinya, bahkan orang itu akan lupa terhadap apa-apa yang menyebabkan kebaikan dan kesuksesan dirinya di kehidupan dunia maupun akhirat. Sehingga, orang itu akan menjadi rusak dan terkatung-katung bagaikan binatang yang tidak berarti, atau bahkan binatang itu sebenarnya lebih mengetahui hal yang maslahat bagi dirinya daripada orang tersebut!” –selesai nukilan terjemahan-[5]

Semua perjuangan Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam- dalam memperbaiki keadaan keyakinan kaum muslimin khususnya dan umat manusia pada umumnya, beliau lakukan dengan cara mendidik mereka dan mengajarkan ilmu yang benar kepada mereka, Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” ( Q.S. Ali Imran: 164).

Yang demikian itu karena ilmu yang menyebabkan perbaikan suatu keyakinan tidak akan dapat diraih melainkan harus dengan mempelajarinya. Sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda,

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحُلُمَ بِالتَّحَلُّمِ

 “Sesungguhnya ilmu hanya dapat diraih dengan belajar; dan sesungguhmua sifat hilm (kesabaran dan ketenangan) akan didapat dengan cara melatihnya.” (HR. Ath-Thabrani)[6]

Demikian juga, dalam usaha meraih keberkahan berumah tangga, maka rumah tangga harus dibina dengan Tauhid yang benar dan agar mampu membina rumah tangga dengan Tauhid maka membutuhkan ilmunya. Dalam buku kecil ini, membahas tiga pokok tema dalam usaha membina keluarga bertauhid, yaitu:

  1. Pengaruh Tauhid dalam Mendapatkan Jodoh shalih/shalihah
  2. Pengaruh Tauhid terhadap keberkahan Rumah Tangga
  3. Parenting Islami (Menumbuhkan Tauhid pada Anak)

Semoga buku kecil ini menjadi pembuka jalan bagi siapa saja yang hendak memulai komitmen dalam membina hubungan keluarga serta mendidik anak-anaknya agar tegak di atas Tauhid sehingga mencapai kesuksesan serta kebahagiaan sejak di dunia dan begitu pula kelak di akhirat.

 

Cimahi, 25 Rabiul Akhir 1444 H / 20 November 2022 M.

Mochammad Hilman Al Fiqhy

 

~~~***~~~

 

======

CATATAN KAKI:

[1] Shahiih Al Bukhari no. 56 dan Muslim no. 1599.

[2] Sittu Durar Min Ushuul Ahli Al-Atsar, halaman 16.

[3] Shahiih Al Bukhari no. 4993.

[4] Fathul Baari, 10/35

[5] Miftah Daar As Sa’aadah, 1//86. Dikutip dari kitab Sittu Durar.

[6] Shahiihul Jaami’, no. 2328 (Asy-Syaamilah)

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: