Faedah Pembahasan Ini:
-
Persiapan Bagi yang belum menikah, agar ada gambaran hidup berumah tangga sehingga dapat mempersiapkan diri secara lahir dan bathin
-
Bagi yang sudah menikah agar bisa mengikuti petunjuk untuk menjadi suami/istri yang ideal sehingga rumah tangga penuh berkah
-
Bagi orang tua agar bisa menyiapkan anaknya agar kelak menjadi pasangan yang baik untuk menantunya dan agar mendapatkan jodoh yang shalih/shalihah
~***~
بسم الله، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اهتدى بهداه
أما بعد،
Berkah menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Adapun menurut menurut pejelasan para ulama, berkah atau barokah bermakna: bertambahnya kebaikan serta tetap terus ada kebaikannya. Maka, keluarga yang berkah adalah keluarga yang keluarga yang selalu diberikan kebaikan oleh Allah Ta’ala sehingga keluarga tersebut menjadi keluarga yang sakinah (ketenangan), mawaddah wa rahmah (saling mencintai dan berbelas kasih) yang kemudian lahirlah keturunan yang shalih dan shalihah. Sebagaimana Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum: 21)
Untuk mencapai keadaan yang pernuh berkah seperti itu, mari kita renungkan dan fahami penjelasan berikut ini agar selanjutnya dapat kita amalkan sebaik-baiknya demi meraih keberkahan dalah kehidupan rumah tangga kita yang ternyata pada asalnya adalah karena pengaruh akidah Tauhid.
Akidah merupakan keyakinan hati, maka pendidikan akidah merupakan pendidikan terhadap suatu keyakinan sedangkan akidah yang benar adalah akidah Tauhid.
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَلا إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلَّهُ أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ
“ketahuilah! Sesungguhnya di dalam suatu jasad ada segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik; maka menjadi baiklah seluruh jasadnya, dan apabila segumpal daging itu jelek; maka menjadi jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah! Segummpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut menjadi dalil yang jelas bahwa; perbaikan Tauhid –yang mana pada awalnya bermula dari perbaikan keyakinan hati (akidah)- merupakan asal dari semua perbaikan dan penyebab terbesar suatu perubahan! (Lihat kitab: Sittu Durar Min Ushuul Ahli Al-Atsar, prinsip pertama).
Pendidikan aqidah Tauhid ini sangat penting, demi untuk menyiapkan jiwa sang anak dalam mengarungi masa depannya. Semakin kuat Tauhid seseorang maka akan semakin siap dalam menjalankan segala ketetapan Allah Ta’ala dan dalam menempuh berbagai macam ujian hidup.
Aisyah binti Abu Bakar –radhiallahu ‘anhuma– berkata:
إِنَّمَا نَزَلَ أَوَّلَ مَا نَزَلَ مِنْهُ سُورَةٌ مِنَ الْمُفَصَّلِ فِيهَا ذِكْرُ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ، حَتَّى إِذَا ثَابَ النَّاسُ إِلَى الإِسْلاَمِ نَزَلَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ، وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لاَ تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا: لاَ نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا! وَلَوْ نَزَلَ لاَ تَزْنُوا لَقَالُوا لاَ نَدَعُ الزِّنَا أَبَدًا… (رواه البخاري) .
“…. di antara surat-surat Al Quran yang diturunkan pada mulanya hanyalah surat-surat mufashshal (yakni yang pendek-pendek) yang padanya disebutkan tentang Surga dan Neraka, sampai apabila manusia telah semakin mantap keyakinannya terhadap Islam maka turunlah ayat-ayat mengenai perkara Halal dan Haram. Seandainya ayat yang pertamakali turun berbunyi ‘Janganlah kalian minum khamr!’ niscaya mereka akan mengatakan ‘Kami tidak akan meninggalkan minum khamr selamanya!’ Seandainya ayat yang pertamakali turun berbunyi ‘Janganlah kalian berzina!’ niscaya mereka akan mengatakan ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya!’….” (HR. Bukhari)
Ketikan menjelaskan perkataan Aisyah –radhiallahu ‘anha– tersebut, Ibnu Hajar –rahimahullah– berkata: “Hal tersebut mengisyaratkan adanya hikmah/kebijaksanaan ilahi dalam menetapkan tahapan turunnya surat-surat Al Quran, yakni bahwasannya diantara yang mula-mula diturunkan dari ayat-ayat Al Quran adalah seruan kepada Tauhid, pemberian kabar gembira Surga bagi orang yang beriman dan yang ta’at, serta ancaman Neraka bagi orang kafir dan pelaku maksiat! Lalu tatkala jiwa manusia telah yakin terhadap hal-hal tersebut, turunlah ayat-ayat tentang hukum perkara halal dan haram. (Fathul Baari, 10/35)
Demikianlah betapa pentingnya pendidikan agama, terutama keyakinan tentang akidah Tauhid, sangat berpengaruh bagi kesiapan jiwa anak-anak dalam menjalani kompleksnya problematika kehidupan. Imam Ibnul Qayyim –rahimahullah– bertutur:
“Ilmu tentang (nama-nama dan sifat-sifat mulia) Allah merupakan pokok dan sumber dari segala ilmu. Barangsiapa mengenal Allah maka ia akan mengenal hakikat selain dari Allah, dan barangsiapa yang bodoh terhadap Rabbnya maka ia akan lebih bodoh lagi terhadap hakikat selain dari Rabbnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ
Artinya: ‘Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri…’ QS. Al Hasyr: 19
Renungkanlah ayat tersebut; akan kau dapati padanya ada makna yang agung. Yaitu: bahwasannya orang yang lupa terhadap Rabbnya maka Rabb pun akan menjadikan orang itu lupa pada hakikat dirinya sendiri dan pada hakikat jiwanya. Karena itulah orang tersebut tidak akan mengetahui hakikat dirinya dan tidak akan mengetahui hal-hal yang maslahat bagi dirinya, bahkan orang itu akan lupa terhadap apa-apa yang menyebabkan kebaikan dan kesuksesan dirinya di kehidupan dunia maupun akhirat. Sehingga, orang itu akan menjadi rusak dan terkatung-katung bagaikan binatang yang tidak berarti, atau bahkan binatang itu sebenarnya lebih mengetahui hal yang maslahat bagi dirinya dari pada orang tersebut!” –selesai nukilan terjemahan- (Miftah Daar As Sa’aadah, 1//86).
Oleh karena itu, ketika seseorang telah mampu melakukan perubahan hatinya sehingga terjadi perubahan pada dirinya, maka perubahan tersebut selanjutnya akan membawa pada perubahan yang lebih luas; baik itu perubahan diri, keluarga, masyarakat, dan bahkan sampai berakibat pada perubahan suatu bangsa.
Semua perjuangan Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam- dalam memperbaiki keadaan keyakinan kaum muslimin khususnya dan masyarakat Mekah pada umumnya, beliau lakukan dengan cara mendidik mereka dan mengajarkan ilmu yang benar kepada mereka, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat -ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar -benar dalam kesesatan yang nyata” ( Q.S. Ali Imran ayat :164).
Hal itu karena ilmu tidak akan dapat diraih melainkan harus dengan mempelajarinya. Sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda,
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحُلُمَ بِالتَّحَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu hanya dapat diraih dengan belajar; dan sesungguhmua sifat hilm (kesabaran dan ketenangan) akan didapat dengan cara melatihnya.” (HR. Ath-Thabrani, Lihat shahiihul Jaami’, 2328)
Denikian juga, dalam usaha meraih keberkahan berumah tangga, butuh usaha untuk mempelajari ilmu yang akan membimbing kita dalam kehidupan berumahtangga.
Nasihat untuk Suami Istri
Tatkala hubungan pernikahan benar-benar ditegakkan di atas keimanan dan ketaqwaan, maka pertemanan tersebut akan tetap tegak abadi dan tidak akan roboh dengan terjangan badai ujian, bahkan maut pun tidak akan memisahkan hubungan tersebut. Demikianlah, ketika cinta kita terhadap pasangan kita dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala, maka kelak kita akan diseru:
ٱدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ أَنتُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ تُحۡبَرُونَ
“Masuklah kamu sekalian ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan.” (QS. Az-Zukhruf 70)
Bahkan, ikatan kekerabatan tatkala dibangun di atas keimanan maka tidak akan terputus oleh kematian. Karena kelak pun akan kembali dikumpulkan dalam kenikmatan abadi. Allah telah mengabarkan:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21)
Maka cinta yang benar, cinta karena Allah, merupakan cinta kepada orang yang berhak untuk dicintai karena Allah. Orang-orang yang saling mencinta seperti ini, hubungannya tidak akan pernah sirna dan akan tetap bersemi selamanya, walau seandainya kebersamaan mereka dipisahkan dengan kematian namun itu hanya perpisahan sementara karena kelak mereka akan dipertemukan kembali. Bahkan seandainya mereka belum pernah saling berjumpa, pasti kelak akan dipertemukan di negeri keabadian dengan hubungan yang abadi, di alam yang tidak lagi ada kegundahan dan rasa sakit, surga karunia Allah yang seluas langit dan bumi.
Anas Bin Malik -radhiallahu ‘anhu- berkata:
فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيٍّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ، فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ مَعَهُمْ بِحُبِّيْ إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
“Kami tidak pernah gembira karena sesuatu apapun sebagaimana kegembiraan kami karena mendengar sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- “Engkau bersama yang engkau cintai”. Anas berkata, “Aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar; dan aku berharap aku (kelak dikumpulkan) bersama mereka meskipun aku tidak beramal seperti amalan shaleh mereka” (HR Al-Bukhari no. 3688 dan Muslim 4/2032).
Al Quran dan sunnah memberikan bimbingan yang sempurna mengenai kehidupan berumah tangga, maka sebenarnya semakin seseorang mengaku komitmen pada Islam atau sebagai Ahlus Sunnah, niscaya ia akan semakin baik dalam membina rumah tangga. Suami akan semakin bersikap baik dan bijaksana pada keluarganya, istri akan semakin penyayang dan taat pada suaminya, sehingga lahirlah generasi yang berkualitas dan mulia.
Memiliki pasangan dan bergaul dengannya dalam membina rumahtangga itu tidak gampang dan tidak semulus yang diangan-angankan, karena akan selalu ada ujian yang akan membedakan siapa yang tulus hidup bersama kita dan siapa yang penuh kedustaan, karena begitulah sunatullah (ketetapan Allah) bagi orang yang berusaha tegak di atas keimanan, sebagaimana dalam firmanNya:
وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَیَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ صَدَقُوا۟ وَلَیَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِینَ
“Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 3)
Bahkan, dalam pergaulan bersama orang-orang shalih pun kita harus bersabar, karena sebaik apapun manusia, mereka tetap memiliki kekurangan yang harus kita maklumi. Allah Ta’ala berfirman:
وَٱصۡبِرۡ نَفۡسَكَ مَعَ ٱلَّذِینَ یَدۡعُونَ رَبَّهُم بِٱلۡغَدَوٰةِ وَٱلۡعَشِیِّ یُرِیدُونَ وَجۡهَهُۥۖ وَلَا تَعۡدُ عَیۡنَاكَ عَنۡهُمۡ تُرِیدُ زِینَةَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَاۖ وَلَا تُطِعۡ مَنۡ أَغۡفَلۡنَا قَلۡبَهُۥ عَن ذِكۡرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمۡرُهُۥ فُرُطࣰا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Demikian juga tatkala kita hidup bersama istri, tentu harus benar-benar bersabar dan banyak memaafkan serta memaklumi dengan batas-batas sesuai bimbingan ilmu Syar’i. Apalagi hubungan suami istri adalah termasuk target utama dari misi para setan dalam merusak umat manusia, karena masyarakat yang banyak terjadi padanya kerusakan rumah tangga maka masyarakat tersebut adalah masyarakat yang rusak. Dan karena kerusakan rumah tangga akan berakibat pada kejelekan anak-anaknya sehingga menghasilkan generasi yang rusak pula. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ، ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ، فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ : فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا، قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ : مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قَالَ : فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ قَالَ الْأَعْمَشُ: أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ.
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian ia mengutus para tentaranya (setan-setan); maka kedudukan mereka yang paling dekat dengan Iblis adalah mereka yang paling besar menebarkan fitnah (kekacauan). Salah satu setan ada yang datang menghadap Iblis dan berkata: ‘Aku telah melakukan godaan begini dan begitu..’Maka Iblis menjawab: ‘Kamu belum melakukan sesuatu yang berarti!’Lalu setan yang lain datang dan berkata: ‘Aku tidaklan meninggalkan seseorang melainkan Aku telah memisahkan (ikatan nikah) orang itu dengan istrinya!’Maka Iblis berkata: ‘Kaulah Setan yang terhebat!’ Lalu Iblis mendekati setan tersebut.” (HR. Muslim).
Bimbingan Bagi Suami
Setiap suami pasti akan mendapatkan kekurangan pada Istrinya karena pada hakikatnya memang tidak ada manusia yang sempurna. Ternyata hal tersebut telah dikabarkan dan dijelaskan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bahkan beliau pun memberikan solusi dan rumus dalam menyikapinya. Bimbingan beliau sangat penting untuk direnungkan oleh para Suami sehingga memiliki bekal penting ketika barlabuh dalam bahtera rumah tangga agar bisa bertahan saat badai menerjang bertubi-tubi sehingga menjadi bagaikan batu karang yang tetap kokoh walau deburan ombak menghantamnya setiap saat. Berikut ini hadits-hadits beserta penjelasan para Ulama mengenai hal tersebut:
Dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah bersabda:
استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج ما في الضلع أعلاه؛ فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء.
“Berwasiatlah kepada para wanita dengan kebaikan; karena wanita itu tercipta dari tulang rusuk, sedangkan yang paling bengkok dari rusuk itu adalah yang paling atasnya. Apabila kau (memaksa) meluruskannya maka niscaya kau mematahkannya, dan apabila kau membiarkannya maka ia akan terus bengkok; maka berwasiatlah kepada para wanita.” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam riwayat yang lain di Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) disebutkan:
المرأة كالضلع؛ إن أقمتها كسرتها وإن استمتعت بها استمتعت وفيها عوج
“Wanita bagaikan tulang rusuk; apabila kau meluruskannya niscaya kau mematahkannya dan bila kau bersenang-senang dengannya niscaya kau akan bersenang-senang sedangkan padanya ada kebengkokan.”
Dan dalam riwayat Muslim disebutkan:
إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة؛ فإن استمتعت بها استمتعت بها وفيها عوج وإن ذهبت تقيمها كسرتها؛ وكسرها طلاقها.
“Sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk yang tidak akan bisa lurus dengan cara apapun, apabila kau bersenang-senang dengannya niscaya kau akan bersenang-senang sedangkan padanya ada kebengkokan, apabila kau (memaksa) meluruskannya niscaya kau akan mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan bahwa:
“Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda “استوصوا بالنساء خيرا” maknanya adalah: Terimalah wasiat ini yang dengannya aku wasiatkan kepada kalian; yaitu hendaklah kalian berbuat baik terhadap para wanita; karena wanita itu pendek akalnya, pendek agamanya, pendek berfikirnya, dan pendek dalam segala halnya karena mereka diciptakan dari tulang rusuk.
Hal itu karena Adam –‘alaihish shalatu wa salam- telah diciptakan Allah dengan tanpa bapak dan ibu, bahkan Allah mencipakan beliau dari tanah, kemudian Allah berfirman padanya: “kun fayakuun!” (“Jadilah! Maka terjadilah”). Dan ketika Allah ta’ala hendak memperbanyak makhluk ini (yakni: manusia) maka Allah menciptakan pasangan Nabi Adam dari dirinya sendiri, lalu Allah menciptakan pasangan Nabi Adam dari tulang rusuknya yang bengkok, maka terciptalah pasangannya dari tulang rusuk yang bengkok. Sedangkan tulang rusuk bengkok; apabila kau bersenang-senang dengannya maka kau bisa bersenang-senang dengannya dalam keadaan pada dirinya terdapat kebengkokan, dan bila kau (memaksa) meluruskannya maka tulang rusuk itu akan patah.
Demikianlah wanita, apabila seorang laki-laki ingin bersenang-senang dengan istrinya, maka dia bisa bersenang-senang dengannya tetapi dengan disertai adanya kebengkokan lalu dia merasa rela terhadap apa saja yang telah dimudahkan baginya, sedangkan bila dia ingin istrinya lurus total maka sungguh wanita itu tidak akan pernah lurus dan dia tidak akan pernah mampu meluruskannya!
Seandainya wanita itu telah lurus agamanya maka ia tidak lurus dalam hal lain yang menjadi konsekuensi kebengkokan tabiatnya, dan tidak akan pernah menjadi sesuai dengan keinginan suami yang mengharapkan kecocokan dengan istrinya dalam segala hal. Namun, justru kenyataannya mesti ada perselisihan, mesti ada ketidaksempurnaan bersamaan dengan kekurangan yang merupakan konsekuensi tabi’at wanita; maka wanita itu adalah ‘pendek (akal)’ berdasarkan watak dan tabi’atnya, serta wanita pun merupakan muqashshirah (yakni: orang yang memiliki kekurangan) yang mana bila kau (paksakan) meluruskannya maka kau akan mematahkannya; dan patahnya itu adalah menthalaqnya (menceraikannya)
Makna dari itu semua adalah bahwasannya bila kau mencoba menjadikan istrimu lurus sesuai dengan yang kau inginkan; maka itu tidak mungkin terjadi, dan pada saat itulah kau akan menganggapnya sial, lalu menceraikannya. Maka maksud dari ‘patahnya wanita itu’ adalah menceraikannya.
Pada (pembahasan) ini pun terdapat arahan dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenai pergaulan seseorang dengan keluarganya, yaitu: bahwasannya hendaklah dia memberikan maaf kepada keluarganya, dan menerima apa yang telah dimudahkan baginya, sebagaimana Allah ta’ala telah berfirman: “…ambillah sikap memaafkan…” yakni; apa (yang berhak) dimaafkan dan mudah dari akhlak manusia, “…dan suruhlah kepada perbuaan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199).
Walau bagaimanapun, tidak mungkin kau menemukan seorang wanita yang seratus persen selamat dari aib (kekurangan), atau yang seratus persen baik terhadap suaminya! Akan tetapi, sebagaimana yang telah diarahkan oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: bersenang-senanglah padanya dengan disertai apa yang ada padanya berupa kebengkokan. Dan juga seandainya kau membenci sebagian akhlak istrimu maka niscaya kau ridha pada akhlaknya yang lain, maka imbangilah keadaan yang satu dengan yang lainnya dengan melalui kesabaran. Sungguh Allah ta’ala telah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (19)
“….Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara ma’ruf (baik), kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (para istri), (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. Annisa: 19).
–selesai nukilan- (Syarhu Riyaadhish Shaalihiin, 3/116-118).
Apabila hakikat keadaan tabiat perempuan seperti itu dan laki-laki diperintah untuk bersabar dan memakluminya, lantas sampai batasan apakah laki-laki harus bersikap demikian?
Jawaban dari pertanyaan tersebut terdapat pada hadits beserta penjelasannya berikut ini. Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
استوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج ما في الضلع أعلاه؛ فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء
“Berwasiatlah kepada para wanita dengan kebaikan; karena wanita itu tercipta dari tulang rusuk, sedangkan yang paling bengkok dari rusuk itu adalah yang paling atasnya. Apabila kau (memaksa) meluruskannya maka niscaya kau mematahkannya, dan apabila kau membiarkannya maka ia akan terus bengkok; maka berwasiatlah kepada para wanita.” (Muttafaqun ‘alaih).
Imam Ibnu Hajar Al Atsqalaniy –rahimahullah- menjelasakan sebagai berikut:
Sabda beliau: [ بالنساء خيرا :“…terhadap para perempuan dengan baik…”] di dalamnya terdapat suatu rumus untuk meluruskan ‘kebengkokan wanita’, yaitu: dengan cara lemah lembut; yang mana tidak berlebih lebihan dalam meluruskan sehingga mematahkan dan tidak pula membiarkan begitu saja sehingga terus menerus bengkok. Hal itulah yang diisyaratkan oleh penulis (kitab riyadhush shalihin), yakni dengan menjadikan membahas tema: “Bab: lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari Neraka.” (setelah pembahasan ‘kebengkokan wanita’).
Maka dari itu bisa diambil (faidah;) bahwasannya tidak boleh membiarkan perempuan tetap berada dalam ‘kebengkokan’ apabila kebengkokannya itu membawanya kepada perbuatan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban. Sedangkan yang dimaksud dengan membiarkan (tabi’at) perempuan itu dengan kebengkokannya (tanpa dipaksakan lurus sehingga patah pent-) adalah apabila kebengkokannya masih dalam perkara-perkara yang mubah.
Dan dalam hadits tersebut pun terdapat anjuran bersikap ramah agar jiwa menjadi menarik sehingga dapat melunakkan hati orang lain. Demkian pula pada hadist tersebut terdapat cara menyiasati para wanita, yaitu; dengan memberi mereka maaf dan bersabar terhadap ‘kebengkokkan’ mereka, dan bahwasannya seseorang yang menghendaki para wanita itu lurus adalah dengan cara mengambil menfaat (bersenang-senang) dengan mereka (bagaimana pun keadaannya). Karena memang sesungguhnya seorang lelaki sangat membutuhkan seorang perempuan yang akan menenangkan jiwanya dan membantu kehidupannya. Maka, seolah-olah beliau menyabdakan: ‘bersenang-senang dengan perempuan tidak akan sempurna melainkan dengan disertai kesabaran terhadap (kekurangan)nya.’” –selesai nukilan- (Fathul Baari: 9/290).
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًاۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata!? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Qs. An-Nisa: 21)
Pada ayat tersebut mengandung penjelasan bahwa seandainya ada persengketaan antara suami istri sehingga mengharuskan adanya perceraian; Allah Ta’ala melarang suami meminta kembali mahar atau harta yang pernah ia berikan kepada istrinya dahulu walaupun harta yang ia berikan itu sangat banyak. Hal itu karena harta yang telah diberikan tersebut sudah menjadi hak milik istrinya. Pada ayat tersebut pun mengandung isyarat bahwa kebanyakan permasalahan yang muncul dalam hubungan pasangan suamu istri pada mulanya disebabkan oleh perkara harta, yakni kebanyakan suami yang bermasalah dengan istrinya adalah karena istrinya memiliki harta, baik itu yang berasal dari warisan atau pekerjaan, kemudian sang suami ingin mengambil harta tersebut. Maka dengan ayat tersebut, Allah Ta’ala menutup rapat celah penyebab munculnya percekcokan hubungan suami istri. Yakni, dengan melarang suami mengambil kembali mahar yang dahulu telah ia berikan kepada istrinya, sehingga bagi suami jangankan mengambil harta istri yang bersumber dari jerih payah usahanya sendiri, mengambil kembali mahar yang dahulu diberikan suami pun dilarang keras![1]
Dari pemaparan di atas, bimbingan dari Al-Quran dan Sunnah terhadap suami dalam mempergauli istrinya dapat disimpulkan pada tiga hal berikut ini[2]:
- Berakhlak mulia dengan mempergauli istri secara makruf
- Bila membenci suatu tabiat jelek istri maka sukailah tabiat lainnya yang baik
- Suami tidak boleh merebut harta milik istri
~***~
Bimbingan bagi Wanita
Ada laki-laki yang tadinya memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya tetapi menjadi durhaka semenjak menikah dengan istri pujaannya. Ada laki-laki yg hidup normal dengan badan yang kuat sebagaimana laki-laki lainnya, namun menjadi kurus kering, bahkan binasa karena patah hati gara-gara perempuan pujaannya. Bahkan, ada suatu kaum yang berperang puluhan tahun gara-gara masalah wanita pujaan mereka.
Benarlah apa yang diwanti-wantikan oleh baginda Rasul -shalallahu ‘alaihi wa sallam-:
ما تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أضَرَّ علَى الرِّجالِ مِنَ النِّساءِ.
“Tidaklah Aku tinggalkan sepeninggalku suatu fitnah (ujian) yang lebih berbahaya atas para lelaki daripada wanita!” (HR. Bukhari & Muslim)
Namun, tentu maksud wanita tersebut adalah wanita-wanita yang buruk perangainya.
Sedangkan para wanita salihah, justru menjadi perhiasan paling indah dan penyebab datangnya berbagai kebaikan. Rasul -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الدُّنيا متاعٌ وخيرُ متاعِها المرأةُ الصَّالحةِ
“Dunia adalah perhiasan, sedangkan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salihah.” (HR. Muslim, 1467)
Oleh karena itu, beliau pun bersabda:
أربع من السعادة: المرأة الصالحة ، والمسكن الواسع ، والجار الصالح، والمركب الهنيء، وأربع من الشقاوة: الجار السوء، والمرأة السوء، والمسكن الضيق، والمركب السوء
“Ada empat hal yang merupakan bagian dari Kebahagiaan, yaitu Istri salihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang salih, dan kendaraan yang nyaman. Dan ada empat hal yang merupakan bagian dari Kesengsaraan, yaitu: Tetangga yang buruk, istri yang berperangai jelek, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” (Shahiihut Targhiib, 2576)
Lalu apakah faktor terpenting yang menyebabkan wanita menjadi salihah?
Syaikh Al Utsaimin -rahimahullah- telah memberikan jawabannya, beliau berkata:
لتعلم كل امرأة أنها لن تصل إلى الصلاح إﻻ بالعلم . وما أعنيه بالعلم هو العلم الشرعي. (دور المرأة ؛ 7) .
“Hendaklah semua wanita mengetahui bahwasanya mereka tidak dapat mencapai tingkat shalihah kecuali dengan melalui ilmu. Dan ilmu yang Saya maksudkan adalah ilmu Syar’i.” (Daurul Mar-ah, 8 )
Bagaimanakah ciri-ciri wanita salihah?
Berikut ini ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan ciri-ciri wanita shalihah, maka wanita yang memiliki ciri-ciri yang akan dipaparkan berikut ini maka dialah wanita shalihah, namun apabila tidak ada sebagian ciri atau bahkan tidak ada satupun maka dengan pemaparan berikut ini semoga menjadi ilmu yang memotivasi untuk menjadi wanita yang shalihah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُۚ
“maka wanita-wanita yang salihah, ialah yang taat, lagi menjaga diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah menjaga (mereka)”. (QS. An-Nisa: 34)
Ayat yang mulia tersebut, dijelaskan dengan hadits-hadits berikut ini:
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata:
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2/251. Syaikh Al Albani menilai hadits ini hasan shahih)
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا؛ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَائَتْ
“Apabila seorang wanita menegakkan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya; niscaya dia akan masuk surga dari pintu-pintu surga manapun yang dia sukai.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 1661, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 4151, dihasankan al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 1931).
Para wanita yang seantiasa menjaga hak Allah Ta’ala, yakni dengan melalui menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya walaupun dalam keadaan sembunyi-sembunyi serta tidak dilihat oleh manusia, maka Allah pun akan menjaga wanita tersebut karena siapapun yang menjaga hal-hak Allah maka Dia akan dijaga oleh Allah Ta’ala, sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ
“Jagalah (hak-hak) Allah, maka Dia pun akan menjagamu!” (HR. Tirmidzi no. 2516 dan Ahmad no. 2803)
Kelak, tempat seorang wanita itu di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushain bin Mihshan -radhiallahu ‘anhu- menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena satu keperluan. Setelah selesai dari keperluan tersebut, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
~***~
Kisah Istri yang Tidak Dapat Merasakan Manisnya Iman
Seorang wanita bertanya kepada Syaikh Al Albani -rahimahullah-:
“Wahai Syaikh, sebelum menikah, Aku adalah wanita yang rajin saum dan shalat malam, Aku pun merasakan manisnya membaca Al-Qur’an. Sedangkan kini, Aku kehilangan manisnya ketaatan itu!”
Lalu Syaikh menanyakan: “Lantas, bagaimakah kadar perhatianmu kepada suamimu?”
Wanita itu pun berkata: “Wahai Syaikh, Aku bertanya padamu tentang Qur’an, saum, shalat, dan manisnya ketaatan; Namun, Engkau malah menanyaiku mengenai suamiku!?”
Syaikh menjelaskan: “Iya, wahai Ukhti. Kenapa sebagian wanita tidak mendapatkan manisnya keimanan dan lezatnya ketaatan serta pengaruh ibadahnya? Jawabnya, Karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ولا تَجدُ المرأة حلاوة الإيمان حتَّى تؤدِّي حقَّ زوجها
‘Seorang wanita tidak akan mendapatkan manisnya keimanan sampai ia menunaikan hak suaminya!‘” (Shahiihut Targhiib, 1939) -selesai- [3]
~***~
Apabila suami istri telah memiliki kriteria pasangan yang ideal maka keluarga mereka akan tenang dan penuh dengan kasih sayang sehingga melahirkan generasi yang ideal juga. Yang demikian itu karena lingkungan keluarga merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak sehingga baik tidaknya masa depan anak sangat dipengaruhi oleh keadaan pendidikannya di lingkungan keluarga.
Sebagaiman diisyaratkan oleh sabda Rasulullah:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَثَلِ البَهِيمَةِ تُنْتَجُ البَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاء
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi; sebagaimana binatang ternak melahirkan anaknya yang sempurna maka apakah dapat kau lihat adanya cacat!?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnul Qayyim (w. 751 H.) -rahimahullah- berkata:
“Barangsiapa menyepelekan dalam mendidik anaknya terhadap apa yg bermanfaat bagi anaknya sehingga menyia-nyiakannya begitu saja; maka sungguh orang seperti itu telah bersikap sangat buruk terhadap anaknya! Dan kebanyakan Kerusakan yang terjadi pada anak-anak; penyebabnya adalah berasal dari Bapak-bapak mereka itu sendiri yang telah menelantarkan mereka; yang tidak mendidik mereka terhadap kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnah agama; sehingga anak-anak tersebut menyepelekan kewajiban dan Sunnah tersebut semenjak masih kecil. Oleh karena itulah, bapak-bapak mereka akhirnya tidak bisa mendapatkan manfaat dari anak-anak mereka dan anak-anak tersebut pun tatkala tumbuh dewasa tidak memberikan manfaat bagi bapak-bapaknya itu.” (Lihat: Tuhfatul Mauduud) [4]
Yang patut diperhatikan di sini, bahwasanya di zaman Ibnul Qayyim itu telah ada dan tersebar lembaga-lembaga Pendidikan dengan berbagai macam kurikulum dan sistemnya yg bagus. Namun, beliau tetap ‘menyalahkan’ orangtua atas keteledorannya dalam mendidik anak. Hal itu karena, sebaik apapun lembaga pendidikan, kalau tidak ada peran penting kerjasama orang tua maka sangat sukar bagi sang anak untuk berhasil dalam pendidikannya.
والله أعلم
~***~
Disusun oleh: Mochammad Hilman Al Fiqhy
Bandung, 25 Rabiul Awwal 1444 H / 22 Oktober 2022 M
=====
FOOTNOTE:
[1] Pejelasan Syaikh Abdus Salam Asy Syuwai’ir -hafizhahullah- pada muhadharah berjudul Akhtha Az Zaujiyah Tudammir Al Usrah.
[2] Idem.
[3] Dari website: https://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=14116&page=4
[4]) تحفة المودود بأحكام المولود، تحقيق : بشير محمد عيون،صفحة 139